BELAKANGAN ini isu transisi energi semakin gencar. Sektor hulu migas tentu jadi salah satu sorotan utama lantaran termasuk energi fosil yang digadang-gadang akan ditinggalkan hasilkan emisi yang tinggi. Namun demikian untuk di Indonesia ternyata tidak semudah itu meninggalkan migas.

Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), target bauran energi tahun 2025 diperkirakan mencapai 25% untuk minyak dan gas 22% dari total kebutuhan yang diperkirakan mencapai 400 Million Tonnes of Oil Equivalent (MTOE). Kemudian persentasenya menurun tahun 2050 untuk minyak 20% dan gas 24%. Akan tetapi dari sisi volume, kebutuhan energi meningkat hingga mencapai 1.000 MTOE. Ini membuktikan bahwa peran energi fosil berupa migas dalam pemenuhan kebutuhan energi masih sangat krusial.

Masih pentingnya kehadiran migas untuk penuhi kebutuhan energi tanah air juga jadi disadari oleh PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) yang tetap berupaya menggenjot produksi migas.

Hilmi Panigoro, Direktur Utama Medco Energi menjelaskan fokus bisnis Medco di sektor hulu migas terlihat dari besaran investasi atau Capital Expenditure (Capex) yang dialokasikan manajemen  sebesar US$215 juta dimana US$150 juta diantaranya untuk migas dan sisanya atau US$65 juta diantaranya diperuntukan untuk power atau kelistrikan yakni pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ijen.

Sementara untuk produksi migas tahun ini hingga semester I realisasinya mencapai 94 ribu barel setara minyak per hari (Barrel Oil Equivalent Per Day/BOEPD) dengan rincian untuk produksi minyak sebesar 36 ribu Barel Per Hari (BPH) serta gas sebesar 58 ribu BOEPD. Sementara untuk tahun ini manajemen mematok target produksi migas sebesar 95 ribu BOEPD.

“Kami dukung target pemerintah untuk mencapai 1 juta BPH dan produksi Migas MedcoEnergi on-track sesuai

panduan tahun 2021 sebesar 95 ribu BOEPD,” kata Hilmi disela diskusi virtual Masa Depan Industri Hulu Migas beberapa waktu lalu.

Selain itu ada empat proyek pengembangan blok migas yang saat ini dikeloal Medci guna mendukung target produksi migas dari pemerintah. Empat proyek yang tengah digarap Medco ini dijadwalkan bisa rampung bervariasi antara tahun 2022 atau tahun 2023. Proyek pertama yang ditargetkan onstream paling awal di kuartal II tahun 2022 adalah proyek Gas Hiu di lapangan Hiu blok B Natuna, Kepulauan Riau. Proyek ini dikerjakan oleh anak usaha Medco EP Indonesia yakni Medco EP Natuna. Proyek akan memproduksi gas sekitar 43 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD).

Berikutnya adalah Proyek Belida Extension dengan estimasi produksi gas sebesar 34 MMSCFD. Proyek di Lapangan Belida yang dikerjakan Medco EP Natuna itu diproyeksi rampung pada kuartal IV tahun 2022.

Proyek selanjutnya Gas Bronang di blok B South Natuna Sea yang diproyeksi bisa menghasilkan tambahan produksi gas sekitar 50 MMSCFD dan rampung pada kuartal IV pada tahun 2023. Proyek Bronang ini juga direncanakan bisa menunjang pengembangan lapangan Forel. Sementara lapangan Forel sendiri diproyeksikan akan menambah produksi minyak 10 ribu BPH dan juga bisa rampung pada kuartal IV 2023.

“Khusus untuk Forel saya sampaikan ini merupakan lapangan marjinal. Tapi dengan kerja sama yang baik SKK Migas, Kementerian, dan kami (Medco), kami berhasil melakukan breakthrough , sehingga lapangan marjinal ini bisa diproduksikan,” kata Hilmi.

Sementara dari sisi kondisi cadangan migas, manajemen mencatat hingga semester I total cadangan migas mencapai 1,23 miliar barrel oil equivalent (MMBOE) dengan rincian 44 juta BOE 2C atau sumber daya dan 2P cadangan 289 juta BOE dimana cadangan yang siap diproduksikan mencapai 72% dari 2P atau sebesar 207 juta BOE.

Porsi sumber daya migas yang dimiliki Medco 16% merupakan sumber daya minyak atau sebesar 192 juta BOE dan sisanya sebesar 84% atau 1,041 miliar BOE merupakan sumber daya gas. “Cadangan dan sumber daya MedcoEnergi saat ini 84% berupa Gas yang dapat dimonetisasi untuk jangka panjang sesuai Reserves Life-nya,” ungkap Hilmi.

Mulyanto, Anggota Komisi VII DPR RI, saat dihubungi Dunia Energi menjelaskan industri migas tetap penting untuk tetap dikembangkan bukan sebagai bahan bakar tetapi sebagai bahan baku industri petrokimia.

Dia menuturkan di pasar domestik, sesuai rencana pemerintah dengan komitmen transisi energi adalah pengurangan penggunaan BBM di sektor transportasi dan pembangkit fosil (termasuk diesel).  Targetnya net zero emision di tahun 2060. “Industri petrokimia bisa menjadi peluang, sebagai produk turunan dari migas. Selain itu, demand migas untuk sektor industri manufaktur masih dimungkinkan sampai tahun 2060,” jelas Mulyanto kepada Dunia Energi.

 

Aktif Kurangi Emisi Gas Rumah Kaca

Selain turut serta menggenjot produksi migas manajemen menetapkan strategi untuk juga fokus terhadap pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Boleh dibilang fokus perusahaan migas untuk turunkan emisi jadi harga mati sekarang ini, ditengah desakan untuk perbaikan lingkungan serta emisi GRK di seluruh dunia.

Hilmi menjelaskan bahwa Medco telah menetapkan target Emisi Net Zero untuk Scope 1 dan Scope 2 untuk bisnis migas dan ketenagalistrikan pada 2050 serta Emisi Net Zero untuk Scope 3 tahun 2060. Dia menjelaskan Medco Energi memutakhirkan metodologi perhitungan dan pengumpulan data emisi dengan menggunakan Perangkat Perhitungan Emisi Udara & GRK di tahun 2020 dan melaporkan data

2018-2020 dalam pengungkapan pertama melalui platform CDP (Carbon Disclosure Project) pada 2021 yang sesuai dengan rekomendasi TCFD (Task Force for Climate-Related Disclosures).

Penurunan konsumsi energi yang berhasil dicapai Medco sebesar 11% dari tahun 2019-2020 dan intensitas emisi Scope 1 sebesar 15% dari tahun 2018 hingga semester I tahun 2021 di operasi migas. Selain itu investasi beragam untuk program keanekaragaman hayati juga telah dilakukan termasuk penanaman kembali hutan seluas 172 ha hutan di sekitar wilayah operasi sejak 2018-2020.

Dalam data perusahaan terjadi penurunan cukup signifikan terhadap emisi yang dihasilkan dari kegiatan operasi Medco untuk lini bisnis migas dan ketenagalistrikan.

Dalam data perusahaan, pada tahun 2019 emisi untuk migas dihasilkan 1,6 juta tCO2e, sementara ketenagalistrikan sebesar 919 ribu tCO2e. Medco berhasil turunkan emisi pada tahun 2020 untuk migas menjadi 1,4 juta tCO2e sementara emisi ketenagalistrikan berhasil diturunkan emisinya menjadi 779 ribu tCO2e. Kemudian hingga semester I tahun ini tercatat emisi migas sebesar 643 tCO2e dan ketenagalistrikan 416 tCO2e.

“Selain melaporkan emisi Scope 1, kami mulai melaporkan emisi Scope 2 untuk Minyak dan Gas dan Ketenagalistrikan sejumlah 11.329 tCO2e. Sebagai upaya perbaikan berkesinambungan, kami juga telah memasukkan data sumber emisi bergerak di dalam laporan emisi GRK Scope 1 periode 2018–2020 dan data-data emisi Scope 1 dan 2 telah dijamin oleh pihak ketiga (third party limited assurance),” ungkap Hilmi.

Sumber : Medco Energi

Sementara itu Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, menjelaskan energi fosil juga dapat mengurangi emisi yakni gas bumi yang merupakan energi bersih. Sebab, penggunaan energi gas bumi dalam pembangkit tenaga listrik dapat mengurangi emisi sekitar 50%, ketimbang menggunakan energi fosil lainnya seperti batu bara. di Medco sendiri pengembangan bisnis kelistrikan berbasis gas juga jadi salah satu fokus bisnis perusahaan diantaranya PLTGU Riau berkapasitas 275 MW.

“Saya kira industri hulu migas sudah merespon kebijakan transisi energi dengan baik. Ada upaya-upaya seperti implementasi carbon capture dan diversifikasi ke EBT,” kata Komaidi. (RI)