JAKARTA – Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan (ET) Untuk Penyediaan Tenaga Listrik Nomor 112 Tahun 2022 pada 13 September 2022. Penerbitan Perpres Ini diharapkan akan meningkatkan investasi dan mempercepat pencapaian target bauran energi terbarukan dalam bauran energi nasional sesuai dengan Kebijakan Energi Nasional (KEN) serta penurunan emisi gas rumah kaca (GRK).

“Ada yang menggembirakan dalam Perpres ini, yaitu ada kepastian hukum dalam tarif ET untuk kapasitas tertentu tetapi untuk kapasitas lainnya sesuai dengan kesepakatan. Tarif kesepakatan ini lah yang akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan usaha dalam pengembangan ET karena tidak diperhitungkan dan diperkirakan berapa lama begosiasi tarif ini bisa diselesaikan,” ungkap Surya Darma, Pengamat Energi Terbarukan, kepada Dunia Energi Jumat (16/9/2022).

Namun demikian, kata Surya Darma yang mantan Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), untuk panas bumi dengan tarif yang dimunculkan dalam Perpres sampai saat ini masih tidak memberikan keekonomian yang diharapkan. Peluangnya tetap melalui tarif kesepakatan.
“Seharusnya akan sangat baik jika dimunculkan FIT, feed in tariff. Namun disisi lain ada juga yang menggembirakan karena ET mendapat prioritas yang wajib dibeli oleh PLN,” ujarnya.

Demikian juga halnya dengan coal phase out yang memberikan payung hukum untuk bisa dilaksanakan dan secara perlahan digantikan oleh ET.
“Tidak ada peran energi baru yang berasal dari energi fosil kecuali energi baru yang berasal dari sumber daya ET seperti green hydrogen, dan lainnya,” kata Surya Darma.

Indonesia memiliki potensi Energi Baru Terbarukan (EBT) yang sangat melimpah, yaitu sekitar 3.000 GW. Potensi panas bumi sendiri sebesar 24 GW. Selama lima tahun terakhir, pembangkit EBT terus mengalami peningkatan, saat ini kapasitas pembangkit EBT sebesar 12 GW, dan panas bumi menyumbang sekitar 2,2 GW.

Pada tahun 2060 kapasitas pembangkit EBT ditargetkan sebesar 700 GW yang berasal dari solar, hidro, bayu, bioenergi, laut, panasbumi, termasuk hidrogen dan nuklir. Pembangkit panas bumi diperkirakan akan mencapai 22 GW yang didorong dengan pengembangan skema bisnis baru, inovasi teknologi yang kompetitif dan terjangkau, antara lain deep drilling geothermal development, enhanced geothermal system, dan offshore geothermal development.

Untuk mempercepat dan memperbesar pemanfaatan panas bumi sebagai sumber energi, Pemerintah memberlakukan kembali tarif uap panas bumi dan tenaga listrik dan mengusulkan kemudahan proses perizinan penggunaan lahan di hutan konservasi, dan pembebasan pajak bumi dan bangunan.(RA)