JAKARTA – Kendati larangan ekspor biji nikel telah menuai gugatan dari World Trade Organization (WTO), Presiden Joko Widodo (Jokowi) tetap pantang mundur, malah melanjutkan larangan ekspor pada bijih bauksit, yang berlaku pada Juni 2023.

Fahmy Radhi, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada, mengatakan bahwa pada dasarnya Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral dan Batubara sudah mengamanahkan untuk melarang ekspor hasil tambang dan mineral tanpa dihilirisasi di dalam negeri paling lambat pada 2014.
“Namun, adanya penentangan dahsyat dari perusahaan tambang, utamanya dari Freeport yang disertai acaman diadukan ke WTO, Pemerintahan Presiden SBY mengundur berlakunya larangan ekspor tersebut. Baru sekarang Presiden Jokowi berani melarang ekspor bijih nikel dan bauksit,” katanya, Jumat(24/12).

Menurut Fahmy, tujuan Jokowi melarang ekspor bauksit adalah meningkatkan nilai tambah, lapangan kerja baru, dan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Di luar ketiga tujuan ini, perlarangan ekspor tersebut sesungguhnya untuk mengoptimalkan hasil kekayaan alam sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, sesuai amanah pasal 33 UUD 1945.
“Jangka pendek, larangan ekspor bauksit itu akan menurunkan pendapatan ekspor hingga mencapai sebesar Rp 21 triliun per tahun. Namun, jangka panjang, seiring dengan meningkatnya nilai tambah, ekspor hasil hilirisasi dan produk turunan bauiksit, akan meningkatkan pendapatan negara sekitar Rp 62 triliun per tahun,” ujar Fahmy.

Ia mengakui bahwa tidak mudah untuk memperoleh tambahan pendapatan melalui larangan ekspor bauksit. Masih ada berbagai tantangan dan pertentangan. Salah satu tantangannya adalah kapasitas smelter masih sangat terbatas untuk hilirisasi seluruh hasil bijih bauksit. Namun, larangan ekspor bauksit akan memaksa pengusaha bauksit untuk membangun smelter, baik dilakukan oleh setiap perusahaan, maupun oleh kosorsium perusahaan dan joint venture dengan investor smelter.

Fahmy menekankan pemerintah harus memberikan fiscal incentive berupa tax holiday, tax allowances, dan bebas pajak impor untuk peralatan smelter.
Sedangkan, penentangan dari WTO harus dilawan meskipun ujung-ujungnya akan kalah. Namun, proses persidangan gugatan WTO sampai keputusan final butuh waktu sekitar 4 tahun. Selama 4 tahun larangan ekspor bauksit harus tetap dilakukan hingga menghasilkan ecosystem industry bauksit dari biji bauksit dan produk hilirisasi hingga produk turunan, berupa alumunia sebagai bahan baku industri mesin dan semiconductor.

“Produk turunan itu akan memberikan nilai tambah lebih besar ketimbang ekspor bijih bauksit. Maka perlu maju tak gentar meningkatkan pendapatan negara,” kata Fahmy.(RA)