JAKARTA – Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pokok-Pokok Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik dengan berbagai perubahannya dan Permen ESDM Nomor 50 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan Untuk Pemanfaatan Tenaga Listrik dinilai tidak selaras dengan putusan Mahkamah Agung (MK) Nomor lll/PUU-XII/2015, bahkan dengan Putusan MK Nomor 001-021-022/PUU-l/2003.

Ahmad Redi, Pakar Hukum Sumber Daya Alam Universitas Tarumanegara, mengatakan pemaknaan penguasaan negara dalam putusan MK atas usaha ketenagalistrikan dilakukan dengan pengaturan pola kerja sama Build, Own, Operate, and Transfer (BOOT). Padahal sebelumnya hanya Build, Own, and Operate (BOO).

Regulasi pasca Putusan MK No.111/PUU-XIII/2015 memicu masalah karena seluruh aset (tanah, bangunan, dan equipment) disediakan dan dibangun oleh pihak pengembang, namun pada akhir periode kontrak dialihkan kepada PT PLN (Persero) (transfer).

“Padahal, konsep BOOT yang umum dilakukan adalah pihak pemerintah menyediakan lahan sedangkan bangunan, mesin, dan peralatan disediakan oleh pengembang,” kata Redi, kepada Dunia Energi, Senin (13/5).

Redi mengatakan, pengambilalihan tanpa kompensasi merupakan bentuk nasionalisasi yang dilarang, baik dalam hukum nasional maupun dalam hukum internasional.

Bentuk skema B00T yang berkeadilan adalah pemerintah menyediakan lahan sedangkan bangunan, mesin, dan peralatan disediakan oleh pengembang, atau seluruh aset (tanah, bangunan, dan equipment) disediakan dan dibangun oleh pihak pengembang, di akhir kontrak Pemerintah/PT PLN (Persero) dapat membeli aset/saham untuk dikuasai negara.

Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) yang tertuang dalam  Pasal 4 ayat (3) Permen 10/2017 menggunakan pola kerja sama “Membangun, memiliki, mengoperasikan dan mengalihkan” (BOOT). Ketentuan lebih lanjut mengenai pola kerja sama dituangkan dalam PJBL Pasal 4 ayat (5) Permen 10/2017.

Dalam pembelian tenaga listrik dari PLTS Fotovoltaik, PLTB, PLTA, PLTBm, PLTBg, PLTP, PLT arus laut, juga menggunakan pola kerja sama BOOT (Pasal 5 ayat (6), Pasal 6 ayat (6), Pasal 7 ayat (8), Pasal 8 ayat (6), Pasal 9 ayat (6), Pasal 11 ayat (6), Pasal 12 ayat (5) Permen ESDM 50/2017).

Pemaknaan penguasaan negara dalam Putusan MK atas usaha ketenagalistrikan dilakukan dengan pengaturan pola kerja sama BOOT, padahal sebelumnya hanya BOO.

“Kementerian ESDM memberikan penafsiran yang tidak tepat mengenai “penguasaan negara” dalam Putusan MK No. 111/PUUU-XIII/2015 dan menimbulkan cidera konstitusional bagi warga negara yang berusaha di bidang ketenegalistrikan,” ujar Redi.

Redi mengatakan, skema transfer asset dari Pengembang Pembangkit Listrik (PPL) kepada PLN/Pemerintah tanpa mekanisme jual beli aset padahal seluruh asset disediakan dan dibangun oleh pengembang, tidak sesuai dengan putusan MK.

Fungsi pengelolaan (beheersdaad) sesuai putusan MK, yaitu penguasaan negara dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai instrumen kelembagaan melalui mana negara.

“BOOT akan menghambat investasi ketenagalistrikan energi terbarukan, padahal pengembangan energi terbarukan menjadi prioritas mendesak bangsa Indonesia,” tandas Redi.(RA)