JAKARTA – Proses evaluasi Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), utamanya dalam hal penentuan target produksi batu bara, menjadi titik uji komitmen pemerintah Indonesia dalam upaya mengatasi perubahan iklim. Urgensi untuk mendorong agenda perubahan iklim dari sektor energi semakin menguat, mengingat salah satu penyumbang emisi terbesar di Indonesia adalah sektor energi, yang salah satunya berasal dari pembangkit listrik batu bara.

Hasil analisis laporan Brown to Green yang disusun oleh Climate Transparency dan Institute for Essential Services Reform (IESR) juga menyebutkan bagaimana kebijakan sektoral, utamanya sektor energi di Indonesia tidak sejalan dengan upaya mengatasi perubahan iklim sebagaimana tertuang dalam Perjanjian Paris. Hal ini terlihat dari
emisi dari sektor energi di Indonesia yang meningkat sebesar 18% dalam kurun waktu 2012-2017.

Aktivitas penambangan batu bara anak usaha emiten.

Rizky Ananda, peneliti kebijakan batu bara PWYP Indonesia, mengatakan agenda perubahan iklim di sektor energi harus dilakukan mulai dari sisi hulu, yakni dimulai dari pengendalian produksi batu bara. Kebijakan ini telah diadopsi dalam RUEN yang seyogyanya didesain untuk mendukung transisi energi menuju energi rendah karbon serta upaya menanggulangi perubahan iklim.

“Yang menjadi masalah adalah sinkronisasi RUEN dengan kebijakan turunan di level teknis, seperti kebijakan penentuan target produksi batu bara nasional yang ditentukan hasil evaluasi RKAB,” ujar Rizky di Jakarta, Senin (3/12).

Aryanto, Manajer Advokasi PWYP Indonesia menekankan agar evaluasi RKAB juga harus mempertimbangkan kepatuhan pemegang IUP dalam memenuhi kewajiban domestic
market obligation (DMO) batu bara. Sesuai dengan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM No.23K/30/MEM/2018, sanksi pemangkasan produksi tahun 2019, yakni maksimal empat kali realisasi DMO 2018, akan diberlakukan bagi pemegang izin yang tidak memenuhi kewajiban DMO sebesar 25%.

“Di sinilah kita menunggu hasil kerja tim verifikator DMO yang bertanggungjawab melakukan verifikasi pemenuhan DMO batu bara, karena rekomendasi tim verifikator menjadi dasar pengenaan sanksi pemotongan kuota produksi 2019,” kata Aryanto.

Dari total produksi nasional hingga Oktober sebesar 409,9 juta, batu bara yang disalurkan ke pasar domestik mencapai 90,71 juta ton.

Pemerintah dinilai harus mempublikasikan nama-nama perusahaan yang belum memenuhi target DMO, sehingga publik dapat ikut mengawasi.

Terlebih lagi, Kementerian ESDM baru saja meluncurkan Minerba Online Monitoring System (MOMS), sistem pengawasan produksi dan penjualan pertambangan minerba secara real time dan akurat. Perbaikan sistem internal ini harus diikuti dengan upaya keterbukaan publik.

“Utamanya, mendorong transparansi data produksi, karena data produksi merupakan kunci penentu penerimaan negara,” kata Aryanto.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperkirakan produksi batu bara nasional hingga akhir 2018 melampaui target sebesar 485 juta ton. Ini melihat realisasi hingga Oktober yang sudah mencapai 409,9 juta ton.

Data pemerintah menunjukkan dari total produksi hingga Oktober sebesar 409,9 juta, batu bara yang disalurkan ke pasar domestik mencapai 90,71 juta ton. Sisanya, 319,19 juta ton batu bara di pasok ke luar negeri atau diekspor.

Dari total penyaluran batu bara ke dalam negeri, sebesar 72,64 juta ton untuk sektor ketenagalistrikan dan sisanya 18,07 juta ton diserap industri lainnya seperti pupuk, semen, dan briket.

Namun demikian meskipun melebihi target produksi, target Domestic Market Obligation (DMO) belum tentu mencapai target yang telah dipatok. Jika sesuai RKAB 2018 produksi batu bara dipatok 485 juta ton sehingga DMO 25% sebesar 121 juta ton. Belakangan pemerintah membuka keran produksi sebesar 100 juta ton khusus bagi perusahaan yang sudah mencapai kewajiban DMO.(RA)