JAKARTA – Pemerintah harus segera menyusun kerangka kebijakan yang tepat guna memanfaatkan pendanaan yang bakal mengalir dari dunia internasional untuk mendanai proses transisi energi dan upaya menekan emisi karbon.

Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) mencatat, Indonesia setidaknya memiliki lima skema pendanaan transisi energi yang akan berjalan dalam waktu dekat ini, termasuk Just Energy Transition Partnership (JETP) yang disepakati dalam G20 di Bali.

Dalam laporan IEEFA bertajuk “Navigating the Many Faces of Indonesia’s Energy Transition Schemes” terdapat lima skema pendanaan transisi energi Indonesia. Tiga skema dengan dukungan internasional, yakni Climate Investment Fund senilai US$ 500 juta untuk percepatan transisi batu bara, JETP Indonesia US$ 20 miliar, dan ETM Country Platform (ETMCP) Indonesia yang dikelola PT Sarana Multi Infrastruktur. Sementara dua lainnya adalah proposal transisi energi PT PLN (Persero) dan skema transisi energi yang dipimpin Indonesian Investment Authority (INA).

Elrika Hamdi, Energy Finance Analyst IEEFA mengatakan, berbagai mekanisme pendanaan transisi energi yang dimiliki Indonesia membuktikan bahwa tidak ada satu solusi universal yang dapat menyelesaikan semua permasalahan transisi energi. Meski demikian, dia menilai penetapan kerangka kebijakan yang disiapkan dengan baik dan konsisten demi tata kelola yang baik, transparansi, dan akuntabilitas, perlu dilakukan sekarang juga.

“Menilik masa tunggu yang lama bagi setiap proyek transisi, tantangan terbesarnya yakni memastikan transparansi, akuntabilitas, dan komitmen politik dalam jangka panjang, yang seluruhnya sama pentingnya,” kata Elrika, Rabu (14/12).

Dalam menyiapkan kerangka kebijakan ini, pemerintah perlu memperbaiki sektor terbarukan dari aspek teknis, financial, dan sumber daya manusia. Salah satu contohnya yakni dengan melakukan pembukaan data dan analisis secara besar-besaran ke publik untuk membangun kepercayaan pihak terkait. Selain itu, menghentikan pengoperasian PLTU batu bara yang sudah tidak ekonomis demi berpihak pada energi terbarukan dan solusi penyimpanan daya yang hemat biaya untuk meningkatkan efisiensi jaringan.

PLN kata Elrika perlu mengoptimasi sistem kelistrikannya, yakni meningkatkan ketahanan sistem untuk mengurangi risiko pembayaran dan mendukung jaringan yang paling hemat biaya. Sistem yang tangguh dapat mengintegrasikan fasilitas penyimpanan daya, mengelola variabilitas, dan merespons kebutuhan listrik.

Selain itu, sistem ini juga mampu mengurangi risiko pemangkasan produksi listrik guna menjaga keseimbangan jaringan yang biasanya harus dilakukan lantaran sifat intermitensi energi terbarukan. Menurut Elrika, hal ini berarti risiko pembayaran yang lebih rendah bagi pemberi pinjaman, yang berpotensi menurunkan biaya utang.

Langkah ketiga, Indonesia perlu menjalankan uji coba untuk membuka pendanaan hijau melalui teknologi baru dan efisien, seperti jaringan pintar (smart grid), fasilitas penyimpanan daya, dan e-mobility. Jaringan Jawa-Bali PLN yang kelebihan pasokan menjadi peluang besar bagi uji coba pembangkit energi terbarukan hingga pengelolaan permintaan.

“Namun, tidak ada timeline yang jelas bagi pengadaan proyek energi terbarukan dan penyimpanan daya, isu lama yang telah ditunggu-tunggu investor swasta. Secara historis, lelang dan negosiasi dengan PLN membutuhkan waktu dan kesabaran, yang mana ini tidak menarik bagi investor,” ujar Elrika.

Oleh sebab itu, langkah keempat, yaitu penyelarasan, memegang peran penting. Untuk membangun kepercayaan pasar, Indonesia harus mencocokkan ekspektasi dan rencana yang disusun dengan permintaan investor. Hal ini akan membuka peluang bagi investor untuk mengurangi risiko investasinya. Penggunaan dana transisi dengan bijak juga perlu menjadi prioritas utama.

Laporan IEEFA juga memuat sejumlah poin yang harus dipantau pemerintah. Beberapa di antaranya yakni struktur tata kelola yang baik guna mengantisipasi risiko politik dan implementasi di luar prediksi, proses seleksi pensiun dini PLTU dan pengadaan energi terbarukan yang inklusif dan transparan, rincian terkait struktur pinjaman dan modalitas, serta pelaksanaan kredit emisi.

“Mempertimbangkan bahwa penghasilan kredit karbon diharapkan memberikan kontribusi signifikan pada ETMCP, dan tujuan akhir dari seluruh skema adalah pengurangan emisi, pelaksanaan dan pendekatan yang diambil terkait penghitungan karbon menjadi sangat penting untuk diperhatikan,” kata Elrika.

Elrika menambahkan, rencana transisi energi berarti menghentikan sumber-sumber bahan bakar fosil dan berinvestasi di pembangkit energi terbarukan, penyimpanan energi, dan sistem distribusi dengan anggaran minimal dan jangka waktu singkat. “Transisi energi Indonesia berarti membebaskan kapasitas jaringan dan modal untuk beralih ke teknologi baru dan merekayasa kembali sistem kelistrikan pada jangka panjang,” kata dia. (RI)