JAKARTA – Indonesia akan memulai babak baru dalam penggunaan bahan bakar nabati. Tahun depan direncanakan akan dilakukan uji coba komersial penggunaan bioentanol yang dicampur dengan BBM gasoline. Pada tahap awal uji coba akan dilakukan secara bertahap.

Edi Wibowo, Direktur Bioenergi, Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengungkapkan rencana uji komersial program pencampuran etanol sebesar 5% dengan gasoline atau E5 akan dilakukan di kota Surabaya.

Menurut Edi dengan kemampuan produksi etanol serta lokasi pabrik etanol, maka Surabaya dinilai paling memungkinkan sebagai wilayah pilot plant implementasi E5.

Edi menjelaskan sesuai kajian yang masih disiapkan, dengan melihat kapasitas produksi bioetanol fuel grade yang baru 40.000 Kiloliter (KL) yaitu 30.000 KL dari Enero yang baru siap produksi 2023 dan 10.000 KL dari Molindo. “Rencana pilot plant implementasi E5 di Wilayah Surabaya. Untuk BBM jenis Bensin dengan oktan 92,” kata Edi kepada Dunia Energi, Sabtu (10/12).

Dia berharap nantinya seluruh BBM beroktan 92 yang dijual di pasaran bisa menjalankan program E5 tersebut, jadi tidak terbatas kepada BBM yang dijual oleh Pertamina sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). “Diharapkan dapat diimplementasikan untuk semua BU (Badan Usaha) BBM, saat ini masih dikaji belum ada penetapannya,” ungkap Edi.

Kementerian ESDM bersama tim riset Institut Teknologi Bandung (ITB), dengan didukung oleh US Grains Council (USGC) telah berhasil menyusun Peta Jalan Strategis untuk Percepatan Implementasi Bioetanol di Indonesia. Kajian peta jalan yang mulai disusun sejak 2021, guna mendukung program implementasi penggunaan Bioetanol pada bahan bakar untuk kendaraan bermotor dan mempersiapkan industri Bioetanol di Indonesia.

Saat ini total produksi bioetanol fuel grade baru mencapai 40.000 KL per tahun, atau jauh di bawah kebutuhan 696.000 KL per tahun untuk pengimplementasian tahap awal di daerah Jawa Timur dan Jakarta. “Pasokan yang tersedia dari PT Enero dan PT Molindo sebagai produsen bioetanol fuel grade baru dapat memasok sekitar 5.7% saja kebutuhan Jawa Timur dan Jakarta. Artinya dari sisi supply harus ditingkatkan,” jelas Edi.

Pencampuran bioetanol sejatinya telah diujicobakan dengan kandungan 2% (E2) di Jawa Timur pada tahun 2018, namun hasil menunjukan harga BBM campuran bioetanol masih sedikit diatas harga BBM non-PSO. Namun, dengan meningkatnya harga BBM dan pentingnya upaya peningkatan ketahanan energi, re-introduksi BBM campuran bioetanol kembali menjadi isu strategis.

Dalam roadmap tim ITB, pengimplementasian bioetanol dengan target jangka pendek selama (3 tahun), menengah (5 tahun), dan panjang. Adapun target jangka-pendek dari roadmap dimulai dengan introduksi campuran 5% etanol atau E5 secara terbatas di provinsi DKI Jakarta dan Surabaya. Campuran E5 etanol dapat dimasukan ke dalam BBM jenis Petralite sehingga kualitas RON meningkat setara Pertamax

Tatang Hernas Soerawidjaja pakar Bioenergi dari ITB, mengungkapkan disarankan membentuk Badan Layanan Umum khusus bioetanol seperti BPDBKS Sawit yang bertugas mempromosikan usaha dan meningkatkan sarana prasarana produksi bioetanol. “Untuk memantik demand bioetanol domestik dan menarik investasi di sektor bioetanol, Indonesia juga dapat sementara mengimpor bioetanol sambil meningkatkan kapasitas produksi,” kata Tatang.

Riset ITB memperlihatkan bahwa produksi bioetanol berbasis gula sebesar 150 juta liter per tahun dapat menciptakan 83,000 tenaga kerja baik di perkebunan maupun di fasilitas produksi molase dan etanol. Untuk jangka menengah, Pemerintah dapat meningkatkan blending bioetanol menjadi E10 dan mengekspansi program bioetanol ke wilayah Jawa sebagai wilayah pengguna BBM tertinggi. Dengan implementasi secara bertahap, diharapkan Indonesia dapat mengimplementasikan campuran bioetanol sebesar E-15 di seluruh wilayah pada tahun 2031.

Hasil riset ITB menunjukkan Indonesia telah menghemat devisa sebesar US$2.6 milyar dari substitusi impor diesel melalui program Biodiesel kelapa sawit. Di sisi lain, laporan ITB memproyeksikan Indonesia akan mengimpor hingga 35.6 juta kiloliter pada 2040 atau hampir dua kali lipat dari jumlah impor bahan bakar minyak tahun 2021. Bahwa penggunaan bioetanol sebagai bahan campuran BBM dapat menurunkan impor BBM jenis bensin, menurunkan polutan emisi kendaraan, dan menciptakan potensi lapangan kerja di sektor pertanian dan produksi bioetanol.

Manfaat lain bioetanol juga adalah potensi pengurangan emisi gas rumah kaca hingga 43% termasuk CO2, NOx dan Partikel PM2.5 dan meningkatkan bauran energi terbarukan Indonesia yang ditargetkan mencapai 23% pada tahun 2025. Penurunan emisi dapat terjadi karena etanol sebagai gasohol memiliki nilai oktan sebesar (RON) 128, sehingga pencampuran dengan bensin akan meningkatkan kadar oktan dan kualitas pembakaran BBM. (RI)