JAKARTA – Kebijakan pemerintah yang membatasi impor barang, termasuk di sektor minyak dan gas akan berdampak langsung terhadap perkembangan industri penunjang migas. Pasalnya masih banyak peralatan penunjang kegiatan pengeboran migas yang didatangkan dari luar negeri.

Wargono Soenarko, Ketua Asosiasi Perusahaan Pemboran Minyak, Gas dan Panas Bumi Indonesia (APMI), mengatakan ada sisi baik dari kebijakan pembatasan impor, karena ada semangat memajukan produk dalam negeri. Namun yang juga harus diperhatikan adalah terdapat beberapa peralatan yang ternyata masih belum tersedia di dalam negeri.

“Bagi APMI agak sulit kalau pelarangan mutlak untuk semua spare part karena sebagian besar masih barang impor,” ujar Wargono kepada Dunia Energi, Senin (20/8).

Presiden Joko Widodo sebelumnya telah memerintahkan pembatasan impor selama enam bulan kedepan akibat neraca perdagangan berjalan Indonesia yang semakin defisit. Impor barang migas menjadi salah satu yang harus dibatasi.

Menurut Wargono, pembatasan impor masih dalam batas toleransi apabila dilakukan tidak terlalu lama. Jika terlalu lama akan berdampak pada kegiatan pemboran yang masih mengandalkan produk luar negeri. “Kalau berlaku sementara antara satu dua bulan, enggak masalah,” tukasnya.

Wargono mengatakan, kebijakan pembatasan impor harus menjadi momentum agar pemerintah mulai berpikir untuk memacu industri atau manufaktur murni di tanah air. Apalagi selama ini perakitan sudah dilakukan di Indonesia, namun bahan baku masih harus didatangkan dari luar negeri. “Artinya jangan assembling saja atau seperti tukang jahit yang masih tergantung bahan bakunya dari impor,” ungkap dia.

Pembatasan impor jelas akan berdampak terhadap jadwal pekerjaan perusahaan pemboran, apabila alat yang dibutuhkan tidak tersedia. Padahal perusahaan pemboran harus melakukan perawatan terhadap berbagai peralatan seperti rig dan penunjang lainnya.

Wargono mengkhawatirkan keterbatasan spare part dipasaran legal akan menimbulkan penjualan spare part secara ilegal nantinya. Hal itu tentu merugikan pelaku usaha karena harganya dipastikan lebih tinggi dari harga normal.

“Kami masih tergantung sekitar 50% kebutuhan maintenance rig dan alat-alat penunjangnya, terutama spare part. Jelas tergangu jika dilakukan selama enam bulan. Dampaknya akan ada black market spare part yang harganya semaunya,” tandas Wargono.(RI)