MAKASAR – Upaya menanggulangi atau mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim harus menjadi upaya bersama dan dilakukan semua pihak termasuk mahasiswa yang merupakan calon pemimpin masa depan. Kesadaran dan pemahaman mahasiswa terhadap perubahan iklim menjadi salah satu faktor utama dan penentu dalam pengendalian iklim kini dan ke depan.

Perubahan iklim terjadi akibat peningkatan emisi karbon dioksida di atmosfer bumi. Saat ini perubahan iklim sudah nyata akibat peningkatan emisi karbon terus terjadi. Laporan yang dipublikasikan Badan Meteorologi Dunia (WMO) pada Mei 2022 menyebutkan bahwa peningkatan emisi karbon dioksida selama 2021 menempatkan iklim bumi dalam kondisi yang kian terpuruk. Pada 2021, konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer Bumi mencatat rekor tertinggi baru.

Krisis iklim akibat peningkatan emisi karbon di bumi merupakan salah satu tantangan paling besar yang dihadapi umat manusia saat ini dan juga di masa depan. Fenomena – fenomena perubahan iklim telah terjadi di seluruh dunia. Di Indonesia, potensi dari perubahan iklim yang tidak terkendali antara lain meningkatnya risiko kekeringan, kejadian kebakaran hutan ekstrem, meningkatnya risiko kebanjiran, serta kenaikan permukaaan air laut dan banjir pesisir (Rob).

Hayat Mansur, Ketua Yayasan Perspektif Baru, mengatakan literasi perubahan iklim kepada generasi muda seperti mahasiswa sangat penting sebagai bagian upaya bersama penanggulangan perubahan iklim. Mahasiswa yang sadar dan cerdas iklim dapat menjadi aktor dan berperan aktif dalam agenda – agenda pengendalian perubahan iklim, seperti pemanfaatan energi terbarukan dan penerapan pajak karbon. “Energi terbarukan dan pajak karbon adalah bagian penting untuk mengurangi emisi karbon. Ingat, bumi tempat kita tinggal ini tidak selamanya mampu menampung peningkatan emisi karbon yang memicu terjadinya perubahan iklim,” kata Hayat Mansur, dalam acara komunikasi publik di Universitas Hasanuddin, Makassar, yang dikemas dalam acara Perspektif Baru Roadshow to Campus – Hybrid Seminar dengan tema “Mitigasi Perubahan Iklim Melalui Pajak Karbon dan Energi Terbarukan”, Rabu (21/9). Acara ini hasil kerja sama antara Yayasan Perspektif Baru bersama Konrad Adenauer Stiftung (KAS), dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Hasanuddin.

Andi Ahmad Yani, Dosen FISIP – UNHAS, menjelaskan bahwa perubahan iklim telah terjadi dan berdampak pada masyarakat, khususnya generasi muda. Untuk itu dibutuhkan keterlibatan dan kolaborasi semua pihak untuk berkontribusi pada penurunan emisi.
“Unhas sebagai kampus terlibat dalam penyusunan dokumen perencanaan rendah karbon Pemprov. Sulawesi Selatan. Unhas juga mendirikan Pusat Studi Perubahan Iklim untuk melakukan riset pengembangan pada upaya adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim,” ujar Andi.

Mahasiswa sebagai generasi muda juga memainkan peran penting dengan melakukan tindakan nyata dan sederhana untuk mengurangi produksi jejak karbon, misalnya mengurangi penggunaan plastik sekali pakai dan terlibat dalam gerakan atau organisasi relawan yang bergerak pada penanaman pohon atau mangrove. Selain itu, penting juga untuk menyebarkan informasi dan kesadaran kepada teman dan keluarga untuk ikut terlibat meminimalkan produksi gas emisi dan karbon

Menurut Bhima Yudhistira,Direktur Centre of Economic and Law Studies (CELIOS), sudah lama kehadiran instrumen pajak karbon ditunggu-tunggu sebagai langkah kongkrit untuk mengubah perilaku perusahaan yang selama ini menyumbang emisi karbon, sekaligus mengubah perilaku masyarakat. “Tapi ada beberapa catatan penting yang perlu disempurnakan dari implementasi pajak karbon,” ujar Bhima.

Pertama, kata dia, pendapatan pajak karbon sebaiknya dialokasikan minimum 80% untuk sektor yang berkaitan secara langsung dengan penurunan emisi karbon seperti PMN kepada BUMN di proyek EBT, dan konservasi hutan lindung. Kedua, penghitungan terhadap emisi karbon sebagai dasar penetapan besaran pajak karbon dilakukan secara transparan dan melibatkan stakeholder terkait.
“Ketiga, perlu dilakukan evaluasi rutin terhadap dampak pajak karbon terhadap penurunan emisi khususnya yang disumbang dari sektor energi dan transportasi,” ujar Bhima.

Gita Syahrani, Kepala Sekretariat Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), menambahkan salah satu perubahan penting yang Indonesia dapat lakukan untuk mitigasi krisis iklim adalah mendorong inovasi pada sektor usaha yang memberikan alternatif ketimbang mengandalkan selalu sektor ekstraktif atau perkebunan besar terutama untuk daerah. Usaha konservasi, hilirisasi produk untuk gaya hidup termasuk pangan, fashion, kecantikan dan kesehatan ramah lingkungan dan ramah sosial bisa menjadi pilihan.
“Di sisi lain, sektor yang sudah ada perlu didorong untuk punya praktek yang juga lebih baik dalam rantai pasoknya, termasuk bertanggung jawab dalam tata kelola lahan dan penggunaan energi bersih,” ujar Gita.

Menurut Sahid Junaidi,Sekretaris Direktorat Jenderal EBTKE, Kementerian ESDM, mengatakan bahwa Indonesia dianugerahi dengan banyak sumber energi yang berlimpah. Indonesia memiliki potensi Energi Terbarukan 3.686 GW yang terdiri dari surya, air, panas bumi, angin, bioenergi dan arus laut.
“Masa depan Indonesia ini sangat baik dari sisi resources, oleh karena itu generasi muda sebagai calon pemimpin masa depan untuk terus concern dan berinovasi dalam pengembangan energi bersih di negeri ini guna mendorong percepatan transisi energi sebagai kunci dalam mencapai karbon netral,” ujar Sahid.(RA)