JAKARTA – Ketersediaan stok gas akan semakin besar seiring dengan terus ditemukannya cadangan gas. Bahkan, berdasarkan Neraca Gas Bumi 2023-2032 terungkap bahwa surplus gas bisa terjadi mulai 2025.

Rizal Fajar Muttaqien, Koordinator Penyiapan Program Migas Ditjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengungkapkan untuk mengatasi kelebihan pasokan yang sangat berpotensi terjadi mulai 2025 perlu disiapkan calon pembeli gas dari dalam negeri sehingga gas bisa dimanfaatkan tidak langsung dijual atau diekspor.

“Indonesia bakal surplus gas hingga 2035. Pasokan gas nanti ada dari Bontang, Tangguh, serta dari proyek Masela. Ini gasnya bisa juga untuk domestik, terutama pembangkit listrik dan industri,” kata Rizal, dalam webinar Menelisik Kesiapan Pasokan Gas untuk Sektor Industri dan Pembangkit Listrik, di Jakarta, Rabu (28/2).

Konektivitas kini menjadi isu utama dalam penyaluran gas di Tanah Air. Menurut dia, Pemerintah sebenarnya sudah berinisiatif mengisi gap antara sumber pasokan gas dan wilayah yang membutuhkan gas. Ini bisa dilihat dari proyek pipa gas transmisi ruas Cirebon – Semarang (Cisem) yang ditargetkan bisa rampung pada Agustus nanti untuk tahap I. “Sekarang hampir tersambung dari Sumatera hingga ke Jawa,” ujar Rizal.

Kebutuhan gas domestik sebenarnya sudah mengalami pertumbuhan. Penurunan ekspor gas dimulai 2012, sejalan penggunaan gas untuk dalam negeri juga mulai meningkat, namun pertumbuhannya sejak saat itu hanya dikisaran 1% setiap tahunnya. Tahun 2022 dari total produksi gas sebesar 5.474 ribu kaki kubik per hari (MMscfd) 68% di antaranya digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik dan sisanya sebesar 32% diekspor.

Rizal mengungkapkan gas memiliki peran penting termasuk dalam pemenuhan energi di masa depan. Apalagi dengan emisi yang lebih rendah otomatis dengan peningkatan penggunaan gas maka emisi secara keseluruhan juga bisa ditekan.

“Gas bisa memberikan kontribusi terhadap pengurangan emisi. Setelah 2060 memang sudah tidak ada gas dalam RUPTL tapi masih ada untuk transportasi. Untuk industri dan gas ini sumber daya energi yang bersih,” jelas Rizal.

Turunnya Penerimaan Negara
Akibat harga gas bumi murah atau harga gas bumi tertentu (HGBT) kepada tujuh sektor industri telah berdampak pada berkurangnya penerimaan negara. Deputi Keuangan dan Komersialisasi SKK Migas Kurnia Chairi, mencatat penurunan penerimaan negara akibat kebijakan HGBT sebesar US$6 per MMBTU lebih dari US$1 miliar atau sekitar Rp15,68 triliun.

Rizal  menambahkan pihaknya masih harus mengevaluasi secara menyeluruh kebijakan itu. “Kemenprin juga sudah mengsulkan usulan untuk perpanjangan atau keberlanjutan kebijakan HGBT, hanya kami dari ESDM masih menunggu evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan HGBT yang sudah berjalan selama ini,” tegasnya.

Chairman Indonesia Gas Sociaty (IGS) Aris Mulya membeberkan sejumlah tantangan yang masih dihadapi Indonesia dalam pengembangan gas dalam negeri. Menurut dia, tantangan yang dimaksud besarasal dari sector hulu, hilir, hingga regulasi.

Dari sektor hulu, Aris menyebut tingginya resiko pengembangan hulu migas berdampak rendahnya investasi yang masuk. “Sektor hulu merupakan poengembangan industri yang beresiko tinggi dan berdampak pada bagaimana kita undang investor masuk dalam usaha industri hulu,” ujarnya.

Sedangkan Kepalan Satuan Pengembangan Teknologi dan Managemen Aset PT PLN Indonesia Power (PT PLN IP) Tarwaji Warsokusumo mengatakan bahwa Duck Curve yang terjadi di Amerika Serikat jangan pula terjadi di Indonesia. PLN harus bisa memberikan kehandalannya dalam memproduksi daya listriknya dengan meningkatkan kapasitas PLTGU. “Untuk itu  membutuhkan pembangkit yang begitu cepat responsnya. Di California sendiri membutuhkan pembangkit 13.000 mega watt (MW) untuk menstabilkan jaringan interkoneksi,” katanya.

Dia menilai Indonesia harus menyediakan pembangkit-pembnagkit yang mempunyai fleksibilitas dalam menangani beban minimum dan maksimum. Sebab deengan kemampuan fleksibilitas ini dapat terhindar dari bangkrut.

“Nah, ini persolan pelik yang kami sediakan sebagai provider. Kalau PLN hanya menggunakan PLTU saja hanya bisa masuk 5 MW per menit. Ini sangat lambat. Sehingga PLN  membutuhkan pembangkit listrik sejenis PLTG yang bisa merespons sekitar 88 MW per menit,” tegasnya.(RA)