JAKARTA – Pembentukan badan khusus pengelola Energi Baru Terbarukan (EBT) untuk mengakselerasi pengembangan energi terbarukan di Indonesia diharapkan dapat mengakomodir penyusunan strategi implementasi pemanfaatan energi terbarukan untuk mencapai target bauran energi berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Serta berkoordinasi dengan lembaga/kementerian dan institusi terkait.

Surya Darma, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), mengatakan badan khusus pengelola energi terbarukan pada dasarnya dibutuhkan untuk mengelola beberapa aspek yang diamanahkan dalam beberapa pasal di Rancangan Undang-Undang
(RUU) EBT.

“Jika tidak ada otoritas tersebut maka maka peran dan substansi yang diharapkan ada dalam UU energi terbarukan akan sulit untuk dilaksanakan,” ujar Surya Darma, kepada Dunia Energi, Senin (8/2).

Dia mengatakan pembentukan badan tersebut sebagai sebuah otoritas merupakan hal yang mutlak diperlukan agar sejalan dengan harapan untuk mengakselerasi pengembangan energi terbarukan.

Menurut Surya Darma, peluang pembentukan badan khusus energi terbarukan sangat besar, karena selama ini beberapa badan yang hampir mirip tapi tidak memiliki otoritas karena tidak diatur dalam UU.

“Oleh karena itu, alangkah baiknya jika beberapa lembaga yang sudah ada, non kementerian dapat disatukan dan difungsikan sebagai Badan khusus Pengelola Energi Terbarukan,” ujarnya.

Sejumlah negara di Asia yang memiliki badan pengelola khusus EBT di negaranya antara lain Malaysia memiliki Badan Pengelola Dana EBT bernama SEDA (The Sustainable Energy Development Authority). Pendaaan awal otoritas ini sebesar RM 3000 juta (treasury) dan dari biaya tambahan 1% dipungut dari tagihan listrik konsumen, kecuali untuk rumah tangga dengan konsumsi lsitrik <300kwh/bulan atau konsumen yang membayar tagihan listrik < RM77/bulan.

Kemudian India, terdapat IREDA (Indian Renewable Energy Development Agency Limited), yang merupakan Badan Usaha Pemerintah India di bawah kendali administratif Ministry of New and Renewable Energy (MNRE). IREDA memberikan fasilitas pinjaman (loan) dan menyusun Interest Rate Matrix berdasarkan jenis EBT yang terdiri dari proyek ET selain biomassa dan sampah kota, proyek biomassa dan sampah kota, solar roof top, angin dan solar pv, serta hidro. Adapun interest rate bervariasi dari 9,7% – 11,65%.
Singapura memiliki NEA (National Environment Agency), yang menghimpun dana insentif dari dana-dana pengelolaan pajak yang disediakan oleh instansi Pemerintah. NEA mendorong praktik ramah lingkungan melalui hibah dan insentif untuk mencapai sistem yang lebih hijau. Lalu ada Korea Selatan yang telah memiliki UU EBT dan membentuk Korea Energy Agency (KEA). Pendanaan KEA berasal dari pungutan kepada Pemerntah atas produk minyak bumi.

Saat ini di Indonesia telah ada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP KS), yang tahun ini dananya bisa mencapai Rp50 triliun, yang digunakan untuk mendukung sektor EBT dalam hal ini biodiesel. Adapula Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) menjadi pengelola dana-dana terkait bidang kehutanan, energi dan sumber daya mineral, perdagangan karbon, jasa lingkungan, industri, transportasi, pertanian, kelautan dan perikanan, dan bidang lainnya terkait lingkungan hidup.

Surya Darma menambahkan bahwa badan khusus EBT nantinya harus independen tidak berada di satu kementerian yang akan sulit mengeksekusi karena akan lebih banyak terpengaruh oleh kebijakan pada tingkat menteri yang bersangkutan.

“Sebaiknya badan tersebut berada langsung di bawah Presiden sehingga semua sejalan denga visi Presiden,” tandas Surya Darma.(RA)