JAKARTA – Pemerintah telah rela dengan turunnya penerimaan negara akibat diberlakukannya Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT), namun sayangnya serapan gas yang dialokasikan justru rendah dan tidak sesuai target. Berdasarkan catatan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) sepanjang tahun 2023 serapan gas yang dialokasikan untuk harga gas maksimal US$ 6 per MMBTU bagi industri hanya sekitar 90%.

Kurnia Chairi, Deputi Monetisasi dan Komersialisasi SKK Migas, menyatakan tidak tercapainya target serapan gas yang telah dialokasikan tersebut bukan berarti menunjukkan industri yang tidak produktif. Ada beberapa faktor lain yang tidak bisa dihindari. Kondisi tersebut tentu disayangkan pasalnya berdasarkan catatan SKK Migas tahun 2023, akibat rela menerapkan kebijakan harga gas tersebut penerimaan negara dari hulu migas sudah turun hingga lebih dari US$1 miliar

Pertama adalah dari sisi suplai gas yang alami penurunan. “Rencana rencana produksi yang ada mengalami kendala operasional yang mengakitbatkan ada alokasi yang sudah direncankan di dalam Kepmen jadi ada sedikit fluktuasi dan ada penurunan,” ujar Kurnia dalam sesi diskusi Menelisik Kesiapan Pasokan Gas Untuk Sektor Industri dan Pembangkit Listrik, Rabu (28/2).

Faktor berikutnya adalah dari sisi midstream dan downstream. Menurut Kurnia ada beberapa industri yang belum mampu menyerap akibat kendala operasional seperti sedang turn around atau shutdown sementara. Bahkan akhirnya industri memilih beralih ke sumber energi lain.

“Ada mendapatkan alternatif energi yang lain. Kami masih melakukan pendalaman, faktor lain yang berpengaruh terhadap serapan volume yang tadi emmang sudah cukup baik di atas 90 persen, sekitar 95-96%kalau saya lihat,” ujar Kurnia.

Selain dari sisi teknis dan operasional, tidak terserapnya gas oleh industri ternyata diakibatkan oleh aturan pemerintah sendiri terkait harga gas tersebut. Salah satu konsekuensi penerapan harga gas maksimal US$6 per MMBTU adalah bakal terkurasnya penerimaan negara yang dialihkan untuk menanggung selisih antara harga yang sudah terlanjur disepakati dalam Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) dengan harga yang dipatok oleh pemerintah.

Ada juga faktor ketidakcukupan bagian negara untuk meng-kept whole (menanggung) bagian kontraktor. Kurnia menjelaskan bahwa kebijakan HGBT ini berjalan di tengah tengah 2020-2021 dimana saat ini pasti sudah ada harga awal PJBG yang disepakati antara kkks, produsen dan para buyers.

“Sehingga gap itu yang di-kept whole. Dalam rangka menanggung itu ada juga ketidakcukupan bagian negara yang direncanakan karena pada saat  penyusunan Kepmen ada proyeksi perkembangan harga minyak harga ammonia pada saat tidak bisa ditanggung  maka tentu kalau ingin diserap volume gasnya harus kembali ke harga PJBG awal yang sudah disepakti di awal. Dalam hal memang tidak bisa tidak bisa ada kemampuan penyerapan maka voluemnya yang dibatasi sesuai dengan tersediannya kept whole bagian negara tadi itu yang mungkin jadi faktor,” jelas Kurnia. (RI)