JAKARTA – Capaian target bauran energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia pada tahun 2020 baru mencapai sekitar setengah dari target dari 2025 yaitu 11,31% dari 23%. Dengan demikian, perlu adanya percepatan penggunaan energi terbarukan (ET) di Indonesia untuk mengatasi perubahan iklim, dan mengantisipasi krisis ekonomi dan energi yang akan datang.

Surya Darma, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), mengatakan pemanfaatan energi terbarukan tentunya mampu mengurangi dampak pemanasan global, meningkatkan investasi, menyediakan lapangan kerja baru, dan mampu untuk membantu pemulihan ekonomi nasional paska pandemi COVID-19.

Namun demikian, berbagai kendala masih ditemukan dalam upaya pemanfaatan energi terbarukan. Dalam hal ini, dibutuhkan kepastian hukum yang dapat menjamin keberlanjutan dalam pemanfaatan energi terbarukan.

“RUU Energi Terbarukan (ET) sampai saat ini masih berada di DPR, konon kabarnya ada di Baleg. Draft terakhir masih menyebutkan RUU EBT dan memasukkan nuklir dalam konsep rancangannya. Padahal, kami (METI) dari awal menyampaikan agar RUU ini fokus pada energi terbarukan karena masalah regulasi yang ada sekarang sangat tidak memadai dan memberikan kepastian hukum dan berusaha bagi energi terbarukan,” kata Surya Darma, kepada Dunia Energi, Selasa(23/11).

Menurut Surya Darma, untuk nuklir masalahnya bukan pada regulasinya. Sejak awal masih perlu sosialisasi untuk mendapat akseptabilitas masyarakat termasuk harus mampu menjelaskan faktor keselamatan, pengolaan wastebdari nuklir dan sebagainya. Karena itu, hal ini bisa diatur lebih lanjut dalam Undang – Undang (UU) Ketenanukliran Nomor 10 Tahun 1997 yang sudah ada.
“Jika perlu, diamandemen saja untuk mengakomidir jika masih ada substanai yang belum termasuk,” ujarnya.

Sedangkan RUU ET, kata Surya Darma, merupakan kebutuhan untuk pengembangan dan percepatan pemanfaatan dalam rangka transisi energi menuju net zero emission.

Ia menekankan, RUU ET nantinya perlu diatur soal harga agar memiliki standar perhitungan sesuai keekonomian. Dalam hal harga keekonomian lebih tinggi dari kemampuan daya beli masyarakat, maka perlu ada kompensasi atau insentif dari pemerintah.
“Untuk ini perlu ada sebuah badan khusus untuk mengelola dan melaksanakan semua tugas itu,” ujar Surya Darma.

Ia menambahkan, mengenai masalah sumber daya manusia (SDM), sampai saat menjadi isu krusial dalam menghadapi peningkatan pemanfaatan energi terbarukan. Perlu dipersiapkan khusus termasuk dalam rangka alih teknologi dan menyiapkan industri dalam negeri.
“Kami dari METI mengusulkan agar ada upaya kearah itu. Karena itu kali ini (Indo EBTKE Connex 2021) METI juga melakukan beberapa sesi baik training maupun hal lain yang terkait untuk mendukung peningkatan kapasitas kemampuan SDM kita di energi terbarukan,” kata Surya Darma.

Demi mendorong transformasi energi baru dan terbarukan, percepatan implementasi ekonomi hijau serta tercapainya target net zero emission Indonesia pada tahun 2060 atau lebih awal, ‘The 10th Indonesia EBTKE Conex 2021’ (Indo EBTKE ConEx 2021) secara virtual resmi dibuka Senin (22/11).

Penyelenggaraan Virtual Indonesia EBTKE Conex 2021 tahun ini yang berlangsung pada 22-27 November 2021 mengusung tema “Energy Transition Scenario Towards Net Zero Emission”. Pengusungan tema ini dimaksudkan untuk mendukung transisi energi menuju pemanfaatan energi dan teknologi yang rendah emisi dan ramah lingkungan demi mencapai target Net Zero Emission.

Dalam pembukaan Indo EBTKE Connex 2021 METI telah menyampaikan usulan dalam rangka mencapai net zero emission. Usulan pertama, RUU ET perlu segera dibahas dan fokus pada energi terbarukan dan tidak mencampurkan dengan energi nuklir. Masalah nuklir dibahas secara terpisah pada UU Ketenaganukliran. Kedua, peraturan terkait harga energi terbarukan agar ada landasan dalam berusaha, bukan dengan pola negosiasi yang tidak memberikan kepastian waktu dan berusaha. Ketiga, menyiapkan SDM secara terpadu agar penguasaan teknologi Dan industri energi terbarukan secara perlahan berkembang.(RA)