JAKARTA– Pengusaha Kawasan Industri berharap Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita membuat kebijakan yang mempercepat realisasi hilirisasi industri pengolahan. Apalagi hilirisasi industri pengolahan sendiri memiliki tujuan untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya alam yang ada dan meningkatkan serapan tenaga kerja.

Sanny Iskandar, Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri (HKI) , mengatakan pada pemerintahan Joko Widodo Jilid II, pengembangan dan keberadaan kawasan industri sangat penting dalam menyokong pembangunan ekonomi nasional. Hilirisasi industri, diarahkan untuk meningkatkan ekspor sehingga menambah devisa negara.

“Ujungnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dengan kata lain peran kawasan industri menjadi penting dan strategis untuk pembangunan ekonomi, khususnya bagi industri manufaktur,” ujarnya di Jakarta.

Menurut Sanny, masalah hilirisasi industri pengolahan, termasuk industri manufaktur menjadi tanggung jawab bersama, baik pemerintah maupun dunia usaha. Bagi pengembang kawasan industri hal ini penting karena kewajiban yang tertuang dalam UU Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian yang menyatakan bahwa perusahaan industri yang akan menjalankan industri wajib berlokasi di kawasan industri. Selain itu, fasilitas yang ada dalam kawasan industri dan sekitarnya ikut mempengaruhi daya saing produk industri.

Sanny menambahkan, sebagai upaya mendukung pemerataan ekonomi, pihaknya meminta anggotanya untuk mendorong industri keluar Jawa, terutama daerah-daerah yang memiliki potensi sumber daya alam, baik tambang, agro, maupun kelautan.

Luas kawasan industri yang sudah beroperasi di Jawa tercatat sebesar 34.050,93 hektare dan di luar Jawa sebesar 13.161,83 hektare. Adapun luas kawasan industri di Jawa yang dalam tahap persiapan sebesar 3.523 hektare dan luar Jawa sebesar 35.320,83 hektare.
Pada tahun lalu, sektor industri pengolahan memberikan kontribusi sebesar 19,86% terhadap produk domestik bruto (PDB), atau paling tinggi dibandingkan sektor lainnya. Sektor ini juga menjadi penggerak kegiatan ekonomi lainnya karena kehadiran industri manufaktur di suatu daerah akan memberikan dampak berganda.

Pekerjaan Rumah

Penetapan Agus sebagai Menperin dalam Kabinet Indonesia Maju, disertai dengan ekspektasi tinggi kinerja industri nasional bisa meningkat signifikan selama lima tahun ke depan. Institute for Development Economics and Finance (Indef) memberi sejumlah catatan pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan putra Ginandar Kartasasmita, mantan Menteri Pertambangan dan Energi Kabinet Pembangunan V (1988-1993) itu dalam mengemban amanat sebagai komandan sektor manufaktur.

Enny Sri Hartati, Peneliti Senior Indef menilai, jabatan Menperin di periode kedua Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bukanlah pekerjaan yang ringan. Jika melihat catatan Badan Pusat Statistik (BPS), kerja keras yang harus dilakukan di sektor manufaktur tercermin dari realisasi pertumbuhan industri pengolahan yang secara tahunan (year on year/YoY) baru menembus angka 3,54 persen pada kuartal II 2019.

Angka tersebut melambat dari periode yang sama tahun sebelumnya (kuartal II 2018) sebesar 3,88 persen. Bahkan, sampai pertengahan tahun 2019 laju pertumbuhan ekonomi sektor manufaktur merupakan yang paling kecil sejak kuartal II 2017 atau dua tahun lalu. Padahal, pemerintah memasang target pertumbuhan industri bisa mencapai 5,4 persen sampai akhir 2019 nanti.

“Kemenperin dalam tiga tahun terakhir di bawah Pak Airlangga Hartarto (Menperin terdahulu) kinerjanya jeblok. Padahal beliau berpengalaman di Komisi VI DPR yang membidangi sektor industri, dan juga anaknya mantan Menperin,” ujar Enny.

Indef, lanjut Enny, telah memetakan dua PR utama yang harus bisa diselesaikan Agus Gumiwang apabila ingin dibilang sukses sebagai Menperin, yaitu Desentralisasi Industri sekaligus Sentralisasi Perizinan agar investor sektor pengolahan tertarik masuk ke Indonesia.

“Pengembangan kawasan industri ke Indonesia Timur memang harus dilakukan karena lahan di Jawa sudah eksklusif sekali. Selain itu kalau ingin memberikan nilai tambah bagi sumber daya alam komoditas melalui industrialisasi memang harus dilakukan di Indonesia Timur yang punya basis tambang, perkebunan, atau kelautan dan perikanan,” jelasnya.

Namun, Enny mengingatkan, fasilitas di kawasan industri baru di luar Jawa masih sangat terbatas dari sisi infrastruktur maupun konektivitas. Hal tersebut membuat investor enggan berinvestasi disitu.

“Untuk kawasan di luar jawa harus ada intervensi dan inisiasi pemerintah. Kalau menunggu swasta masuk jadi kelamaan karena swasta itu kan hanya bicara untung rugi. Apalagi pemerintah belum bisa menjamin kepastian pasokan energi dan pembangunan jalan menuju kawasan dan sebagainya. Padahal kalau ada itu, pasti ada daya tarik bagi tenant untuk masuk dan memungkinkan swasta tertarik membangun kawasan industri,” tegas Enny.

Enny juga menyebutkan PR lain Kemenperin, yaitu mendorong disetujuinya perizinan investasi satu pintu dalam rapat Kabinet Indonesia Maju. Dia mencontohkan Vietnam muncul sebagai surga baru penanaman modal karena investor dimanjakan bukan hanya dengan fasilitas fiskal maupun non fiskal saja, tetapi juga diberikan pelayanan yang memudahkan urusan bisnisnya di negara tersebut.

Di Indonesia ada banyak tipe kawasan industri, mulai dari Kawasan Ekonomi Khusus, Kawasan Berikat Nasional, sampai Free Trade Zone seperti di Batam. Namun, fasilitas yang diberikan kepada investor tidak jelas seperti yang disebutkan dalam peraturan pembentukan kawasan tersebut.

“Bandingkan dengan Vietnam, mereka kalau sudah menetapkan di suatu kawasan si investor bisa mendapatkan fasilitas tertentu ya itu yang diberikan, tidak bersyarat seperti di Indonesia. Contohnya dalam paket stimulus ekonomi sudah disebutkan ada tarif khusus listrik dan gas untuk industri, tapi kenapa jadi Omdo semua,” tegas Enny. (DR)