Kura-kura tuntung, salah satu hewan langka yang dilindungi di wilayah operasi PT Pertamina EP Field Rantau.

Kura-kura tuntung, salah satu hewan langka yang dilindungi di wilayah operasi PT Pertamina EP Field Rantau.

Hampir tidak ada yang mubazir di sana. Mulai air hingga besi dan pipa-pipa bekas bisa berguna. Penduduk desa mendapat jalan kemakmuran. Satwa langka pun diberi makan.

Puluhan kura-kura mungil berlomba menuju bibir sungai. Tertatih, beberapa terguling, namun tetap penuh semangat. Begitu menyentuh air, mereka pasrah tubuhnya mengapung terbawa arus menuju samudera. Di sanalah mereka bakal menemukan kehidupan nyata, melanjutkan regenerasi berikutnya.

Haru bercampur gembira, mewarnai pelepasan 77 tukik tuntung di tepian Sungai Tamiang, Kampung Gelung, Kecamatan Seruway, Kabupaten Aceh Tamiang, Kamis, 3 Oktober 2013. Tukik-tukik itu hasil penetasan Yayasan Satucita Lestari Indonesia. Tujuh bulan para pengurusan yayasan menimang tukik-tukik itu seperti anak sendiri, hingga akhirnya merelakan mereka pergi untuk tinggal di habitat aslinya.

Sekretaris Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh Tamiang, Ir.H.Muhammad Zein menyebutkan, kura-kura tuntung merupakan salah satu fauna endemik wilayah itu, yang terbilang langka. Hewan sejenis penyu ini menempati urutan ke-25 dari 321 satwa di dunia yang terancam punah.

Beruntung kemudian Yayasan Satucita Lestari Indonesia bersama PT Pertamina EP Field Rantau, mengambil peran melestarikan kura-kura lokal, yang daging dan telurnya kerap jadi santapan restoran itu. Kampanye anti perburuan digalakkan, telur-telurnya diselamatkan untuk ditetaskan. Saat tukik (sebutan untuk penyu atau kura-kura anakan) berusia tujuh bulan, mereka dilepasliarkan.

Pelestarian kura-kura tuntung merupakan sekelumit harmoni yang menghiasi wilayah kerja Field Rantau. Bersama pengelola Taman Nasional Gunung Leuser, Pertamina EP Field Rantau juga menanami hutan dengan tumbuh-tumbuhan sumber makanan orang utan, sehingga membentuk kembali habitat primata yang populasinya tinggal puluhan ekor di seluruh jazirah Sumatera itu.  

Diluar pelestarian keanekaragaman hayati, secara umum produksi minyak dan gas bumi (migas) di wilayah kerja paling barat Pertamina EP itu berjalan seiring dendang alam. Terik mentari yang biasanya dihindari, justru menjadi sumber listrik dan penerangan. Penampang solar cell dan photocell terpasang di unit-unit perumahan karyawan. Aktivitas dalam ruangan bengkel di siang hari pun tak perlu lampu, cukup mengandalkan Sunroof . Pada rumah kompresor dan rumah-rumah pompa, dipasang lampu LED.

Ruang ruang engine tidak luput dari sasaran. Di ruangan itu, dipasang alat yang membuat udara leluasa masuk, sehingga mesin tidak cepat panas. “Selain mesin lebih awet, dengan suhu yang terjaga pemakaian bahan bakar minyak (BBM) lebih hemat, emisi karbondioksida yang dilepas pun lebih sedikit,” tutur Sigit Gunanto, Field Manager Rantau PT Pertamina EP.

Selain mensisati engine, 3R (Reuse, Reduce, Recycle) juga mewarnai kegiatan operasi. “Kita tidak buang limbah-limbah sisa kegiatan, tapi dimanfaatkan kembali. Seperti besi-besi atau pipa-pipa yang sudah digunakan pada instalasi utama, kita pakai untuk instalasi penunjang. Jadi tidak perlu beli pipa baru,” ujarnya terkekeh.

Green Land Project

Masih berkaitan dengan operasi produksi, tidak mungkin dihindari keluarnya air dari aktivitas pengeboran. Namun menruut Sigit, air itu tidak dibuang melainkan dikonservasi . “Kita terapkan water management di sini,” tukasnya.

Air yang keluar ke permuakaan itu diinjeksikan kembali ke dalam tanah dalam produce water. Programnya bernama zero discharge. Dari sumur kembali ke sumur. Air itu dimanfaatkan oleh Field Rantau dalam kegiatan “presurre maintenance” dan EOR (Enhance Oil Recovery) dalam rangka peningkatan produksi minyak. “Kita kembalikan dia ke asal,” ujar Sigit lagi.  

Lalu bagaimana air yang kerumah-rumah untuk keperluan karyawan dan keluarganya? Menurut Sigit mereka dijatah agar hemat. Dari sebelumnya 700 liter per orang per hari, mulai tahun ini hanya diberi 500 liter per orang per hari. “Caranya dengan mengatur jadwal pemompaan, sehingga bisa kita batasi pemakaiannya,” jelas Sigit.  

Jatah air dipangkas, keluarga karyawan justru tak mau berpangku tangan. Mereka kumpulkan sisa makanan, sampah bekas masak, daun-daunan, dan bahan sisa organik lainnya, untuk disulap menjadi kompos. Berbagai pohon buah , sayuran, dan tanaman hias di sekitar mereka tumbuh subur dengan pupuk buatan sendiri. “Proyek kompos dari limbah rumahtangga ini kita beri nama “Green Land Project”,” tukas Sigit bangga. 

Satu-satunya yang tidak digunakan lagi adalah limbah yang terkontaminasi B3 (bahan berbahaya beracun). Untuk jenis limbah yang satu ini, Pertamina EP Field Rantau menunjuk PT Wastek untuk mengolahnya agar tidak mencemari lingkungan sekitar. “Meski begitu, kondisi lingkungan kami tetap diaudit oleh lembaga independen, PT Trakon,” ungkapnya.

Menyusuri Field Rantau dan sekitarnya, bukan cuma barang bekas, sampah, dan air yang tidak sia-sia. Manusianya pun terlihat tidak ada yang menganggur. Kalau yang berseragam sibuk memompa produksi, yang bercelana pendek dan berkaos oblong sibuk di kolam. Ya, salah satu desa terdekat dengan Field Rantau, dikenal dengan kampung Tanah Berongga, kini sudah jadi sentra budidaya lele.

Potensi perikanan darat itu menggeliat berkat program Community Development (CD) PT Pertamia EP Field Rantau. Kelompok-kelompok tani bididaya lele tumbuh bak jamur di musim penghujan. Tak ada yang mau ketinggalan menangguk rezeki dari gurihnya bisnis lele. Ternak lembu dan budidaya jamur yang sudah berkembang lebih dulu, sampai sat ini tetap lestari. 

Tak sampai di situ, mereka pun membentuk kelompok-kelompok tani. Pelatihan wirausaha yang diberikan telah membuahkan sebuah lembaga keuangan mikro “Sumber Urip” yang dikelola secara mandiri, membawa masyarakat Tanah Berongga menapak sejahtera.

Pelepasan 77 tukik kura-kura tuntung ke habitatnya oleh Manajemen PT Pertamina EP Field Rantau dan para aktivis lingkungan di Aceh Tamiang.

Pelepasan 77 tukik kura-kura tuntung ke habitatnya oleh Manajemen PT Pertamina EP Field Rantau dan para aktivis lingkungan di Aceh Tamiang.

Targetkan Emas

Dari semua yang telah diupayakan itu, tak berlebihan jika Sigit menargetkan PROPER Emas untuk Field Rantau, dalam periode penilaian 2012-2013 tahun ini. Dua kali berturut-turut meraih PROPER Hijau dari Kementerian Lingkungan Hidup (2010-2011 dan 2011-2012) membuatnya makin percaya diri.

“Tidak ada kendala berarti untuk ke sana, karena kita didukung penuh Persero. Yang menjadi tantangan adalah kriteria penilaian PROPER yang terus berubah dan meningkat setiap tahun,” ucapnya.  Toh menurutnya, peningkatan itu adalah upaya untuk membuat PROPER lebih berkualitas. “Jadi yang meraih Hijau atau Emas effort-nya memang tidak sembarangan”.  

Jajarannya, kata Sigit, juga tidak terbebani dengan target itu. Karena harmoni alam, lingkungan, masyarakat, dan produksi, sudah menjadi budaya kerja sehari-hari. Etosnya, adalah mencapai performa terbaik dalam pengelolaan lingkungan. “Kualifikasi-kualifikasi KPI (Key Performance Index) yang mewakili pencapaian kualitas itu juga sudah di tangan, tandasnya.

Bekal lainnya yang dimiliki Field Rantau untuk menggapai PROPER Emas, adalah sertifikasi ISO 14001-2004, lSO 9001-2008, dan OSAS 18001-2007 yang sudah digenggam tiga tahun berturut-turut. “International Sustainability Rating System (ISRS) 7” Field Rantau pun sudah di level 5. “Kita akan terus tingkatkan hingga mencapai level 7,” lanjut Sigit. 

Memang, ada beberapa proses yang harus dipenuhi untuk mencapai level 7 tersebut. Yaitu konsistensi dengan apa yang sudah dilakuakan dan diraih saat ini, serta meningkatkan aatau melaksanakan proses-proses yang lain yang selama ini belum dilaksanakan, atau sudah dilaksanakan tapi belum optimal. “Kita harus siap, ketika assessment ISRS 7 dilakukan, semua sudah sesuai yang dilaporkan,” tandasnya.

Untuk pencapaian produksi, Sigit berujar secara operasi sudah running well. Zero accident juga berhasil dipertahankan. Tinggal ke depan, bagaimana memerangi natural decline, sehingga lapangan yang sudah mature itu dapat kembali menjadi andalan.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)