PT Pertamina (Persero) melalui anak usahanya PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) akan mulai mengelola Blok Rokan pada Agustus 2021. Progres alih kelola terkait migrasi data teknis dan operasional saat ini telah mencapai 80%. Untuk chemical EOR baru 50%, di mana PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) dan PHR terus bekerja sama dalam percepatan data transfer, model conversion, resolve issue surfactant dan reinstatement SFT-2 facility.

Untuk menahan laju penurunan produksi migas di Blok Rokan, dilakukan investasi pengeboran yang sudah dilaksanakan sejak Januari 2021. Hal tersebut ditandai dengan komitmen kerja pasti Blok Rokan 2021-2026 sebesar US$500 juta, terdiri dari program eksplorasi sebesar US$142,3 juta dan program eksploitasi (EOR) sebesar US$357,7 juta.

“Kami akan bekerja keras untuk lakukan proses transisi. Ini alih kelola lapangan paling besar. Kami sudah ada pengalaman,” kata John H Simamora, Direktur Perencanaan Strategis dan Pengembangan Bisnis PHE, dalam webinar E2S bertema “Pengamanan Aset Negara dan Keberlanjutan Pasokan Listrik Di Blok Rokan”, baru-baru ini.

Blok Rokan merupakan blok minyak terbesar di Indonesia dengan luas 6.220 kilometer persegi yang terletak di lima kabupaten di Riau, yaitu Bengkalis, Siak, Kampar, Rokan Hulu dan Rokan Hilir. Blok tersebut memiliki 96 lapangan dan tiga lapangan diantaranya berpotensi menghasilkan minyak sangat baik yaitu Duri, Minas, dan Bekasap.

Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), hingga semester I 2018, rata-rata produksi minyak Blok Rokan bisa mencapai 201.148 barel per hari (bph) atau 97% dari target 213.551 bph.

Adapun kandungan minyak di Blok Rokan ditemukan sejak era kolonial Belanda, dimana terdapat dua blok penghasil minyak raksasa yakni Lapangan Minas dan Lapangan Duri. Lapangan Minas pertama kali ditemukan oleh geolog asal Amerika Walter Nygren pada 1939. Lapangan Minas pernah diklaim sebagai lapangan minyak terbesar di Asia Tenggara.

Lapangan tersebut menghasilkan minyak jenis Sumatran Light Crude yang diklaim terkenal di dunia. Pengeboran pertama di lapangan tersebut dilakukan oleh Caltex yang kemudian berubah nama menjadi Chevron. Saat ditemukan, kandungan minyak di lapangan tersebut diperkirakan mencapai 6 miliar barel.
Lapangan Duri, pertama kali ditemukan pada 1941 dan mulai berproduksi 1958 lalu.

Chevron Pacific Indonesia sudah ada di Indonesia sejak 1924. Chevron mendapatkan kontrak pengelolaan Blok Rokan dari pemerintah untuk pertama kalinya pada 8 Agustus 1971. Kontrak tersebut berjangka waktu 30 tahun.

Setelah berakhir, kontrak tersebut diperpanjang lagi sampai dengan 8 Agustus 2021. Chevron berhasil mencatat produksi minyak hingga 300 ribu bph dari Lapangan Duri, pada 1993 lalu. Total produksi minyak yang sudah disumbangkan ke Indonesia dari sumur tersebut mencapai 2,6 miliar barel. Sementara sumur Minas pernah mencapai puncak produksi pada 1973 lalu. Saat itu produksinya mencapai 440 ribu bph.

Fatar Yani Abdurahman, Wakil Kepala SKK Migas, mengatakan keberadaan Blok Rokan sudah hampr 100 tahun, sampai akhirnya pada 2018 pemerintah memutuskan alih kelola ke PT Pertamina (Persero). “Mengapa Pertamina? Pertama, karena Blok Rokan itu yang tertinggi produksinya pada waktu itu, kemudian dari 2018 ke 2021 kan kita punya waktu cukup panjang. Harapannya, agar pengelolaan operator berikutnya berlangsung dengan mulus,” ujarnya.

Menurut Fatar Yani, pemerintah telah memberikan waktu yang cukup panjang untuk proses alih kelola Blok Rokan. Pertamina pun mengajukan sejumlah opsi mengenai mekanisme transisi ini dilakukan. Akhirnya, opsi ini yang memungkinkan pada saat itu adalah Pertamina mengakuisisi seluruh aset Chevron.

Dia mengatakan, sebelum akhirnya resmi alih kelola pada Agustus mendatang, tetap harus dilakukan investasi pada Blok Rokan. Investasi tentunya menjadi tidak ekonomis apabila dilakukan oleh Chevron.

Alhasil, tidak ada investasi walaupun pada waktu itu terus diupayakan agar investor mendapat nilai manfaat dari investasinya dimana tentunya negara juga diuntungkan. “Dengan Pertamina masuk di awal diharapkan akan ada investasi. Namun kenyataanya opsi itu tidak berjalan karena kalau B to B agak sulit karena kompleksitas cukup tinggi. Hingga akhirnya 2019 pemerintah ambil posisi alih kelola diambil langsung oleh pemerintah, setelah itu terjadi deal deal dengan Chevron,” ungkap Fatar Yani.

Dia menekankan bahwa tidak mudah untuk melakukan transisi alih kelola blok minyak. “Kalau putus maka untuk kelanjutannya sulit. Makanya, kami mirror semuanya,” ujar Fatar Yani.

Pasokan Listrik

Listrik adalah tulang punggung operasi yang ada di Blok Rokan. Saat ini Blok Rokan ditopang oleh Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) berkapasitas 300 Megawatt (MW) dengan teknologi Congeneration (Congen) yang dikelola oleh perusahaan yang terafiliasi dengan Chevron Corporation, yaitu PT Mandau Citra Tenaga Nusantara (PT MCTN). Sejak tahun 2001 sebanyak 95% saham PT MCTN telah dikuasai oleh Chevron Corporation lewat Chevron Standard, dan sisanya 5 % dimiliki oleh PT Nusa Galih Nusantara.

“Inilah yang menjadi fokus kami, pada saat alih kelola semua smooth. Sementara kita teruskan saja sambil nanti ada pihak lain yang akan mengakuisisi ini (PLTG). Kalau diserahkan ke negara itu sah-sah saja,” ujar Fatar Yani.

John Simamora mengatakan bahwa Pertamina mendukung upaya pemerintah dalam hal ini SKK Migas. Sinergi dengan PLN akan menjadi contoh baik ekosistem BUMN yang saling bekerja sama menciptakan nilai maksimal untuk negara. “Kami sudah tepat memberikan kepada PLN. PLN saya percaya expert ada disana,” kata John.

Bob Saril, Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN, mengatakan bahwa pihaknya sudah lakukan beberapa kali pertemuan dengan pihak terkait pasokan listrik di Blok Rokan. “Kebutuhan listrik Blok Rokan 400 MW. Pertamina sudah melakukan komunikasi penyediaan listrik. Tanggal 1 Februari lalu sudah ada perjanjian jual beli listrik,” kata Bob.

Dia menyampaikan bahwa terdapat dua staging yang akan dilakukan, yakni pada periode 2021-2024 memanfaatkan suplai eksisting. Kemudian pada 2024 dan seterusnya secara permanent akan disuplai oleh sistem Sumatera.

Bob  mengungkapkan bahwa skema pelayanan masa transisi adalah selama tahun, danPLN akan akuisisi PLTG Congen. PLN akan memasang generator untuk membangun kapasitas 400 MW. “Kami sudah melakukan perikatan dengan PHR (Pertamina Hulu Rokan) bahwa sistem kami akan melayani tanpa suplai padam,” kata Bob.

Dia menekankan bahwa wilayah Blok Rokan merupakan wilayah penjualan listrik PLN. Saat beralih fungsi, jika ada pihak lain maka harus izin ke pemerintah. “Setelah berakhir kontrak Chevron, maka MCTN seharusnya juga berakhir. Pada hakekatnya sudah berakhir dan izin usaha sudah tidak ada lagi,” tegas Bob.

Dia berharap ke depannya sistem kelistrikan di Blok Rokan lebih handal. Proses alih kelola Blok Rokan membawa sebesar-besar manfaat untuk bangsa. Hal ini seharusnya diperjuangkan oleh seluruh komponen. “Berdasarkan Permen ESDM terdapat perjanjian jual beli listrik, siapapun yang akan mengajukan Blok Rokan harusnya melakukan perjanjian jual beli dulu dengan PLN. Yang seharusnya dipahami oleh Chevron adalah sudah ada perjanjian jual beli antara PLN dengan pihak Rokan. Proses transisi Rokan dan Pertamina harus didukung semua kepentingan bangsa,” ujarnya.

Menurut Bob, penyediaan listrik adalah penting dalam mendukung efisiensi dan kecukupan listrik secara nasional maka setiap badan usaha harus mendukung.
“PLN melistriki Blok Rokan bukan untuk keuntungan, tapi menjalankan tugas nasional. Penyediaan listrik Rokan serahkan ke PLN sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk melistriki seluruh wilayah Indonesia. Badan usaha lain dapat mendukung PLN untuk jasa penunjang lainnya dalam menjalankan tugas nasional,” kata Bob.(Yurika P)