KEJATUHAN harga minyak dunia pada pertengahan Maret menjadi mimpi buruk bagi industri migas nasional pada tahun ini. Tak berhenti sampai disitu, cobaan berat makin bertambah seiring diumumkannya kasus Corona Virus Disease (Covid-19) pertama di Indonesia di bulan yang sama. Kasus Covid-19 yang terus bertambah hingga berubah menjadi pandemi menyebabkan kegiatan hulu migas terganggu seiring diterapkannya protokol kesehatan yang ketat.

Seiring anjloknya harga minyak dunia pada pertengahan Maret 2020 hingga ke level US$30 per barel, harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) ikut terkoreksi dalam. Rata-rata ICP periode Maret 2020 tercatat turun 39.5% menjadi US$34.23 per barel dibanding rata-rata ICP Februari 2020 sebesar US$56.61 per barel. Padahal asumsi ICP dalam APBN 2020 sebesar US$63 per barel. Pada 30 April 2020, harga minyak Brent untuk kontrak Juni 2020 masih di level US$23,22 per barel. Bahkan, harga West Texas Intermediate (WTI) untuk periode yang sama berada di level US$15,82 per barel.

Kondisi tersebut membuat Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) melakukan evaluasi terkait program kerja 2020. Mengingat karakteristik wilayah kerja yang berbeda-beda maka strategi antisipasinya juga tentu berbeda. Sebagian besar KKKS melakukan analisa sensitivitas keekonomian program kerja atau proyek dengan menggunakan berbagai skenario harga minyak. Beberapa KKKS kemudian melakukan reschedule, terutama untuk program pengembangan (pengeboran sumur), program eksplorasi (pengeboran sumur dan survei seismik) dan proyek.

Jaffee A. Suardin, Deputi Perencanaan SKK Migas, mengatakan investasi eksplorasi yang biasanya akan lebih dulu dikurangi apabila harga minyak turun signifikan. Cara ini ditempuh lebih dahulu karena investasi eksplorasi tidak berdampak langsung terhadap produksi minyak di tahun berjalan.  “Namun demikian pengurangan atau penundaan investasi eksplorasi akan menyebabkan berkurangnya upaya untuk menambah cadangan di masa mendatang,” kata Jaffee saat paparan kinerja hulu migas kuartal I 2020, Kamis, 16 April 2020.

Investasi berikutnya yang terkena dampak adalah investasi untuk pengembangan karena penurunan harga minyak akan menyebabkan berkurangnya keekonomian lapangan. KKKS akan mempertimbangkan untuk menunda pengembangan lapangan atau meminta tambahan insentif untuk memperbaiki keekonomian atau meningkatkan cash flow.

Kemudian investasi produksi biasanya yang paling akhir untuk dikurangi. Salah satu cara yang biasanya ditempuh adalah tidak menambah sumur baru dan memelihara sumur yang sudah ada melalui kegiatan workover dan well service.

Hantaman harga minyak rendah dan pandemi Covid-19, seakan menenggelamkan bahtera menuju produksi satu juta barel minyak dan 12 ribu MMscfd gas pada 2030. Padahal rencana jangka panjang (Long Term Plan/LTP) menuju produksi satu juta BOPD pun disiapkan SKK Migas melalui empat strategi, yakni mengoptimalkan base production, transformasi Resource to Production, EOR dan eksplorasi.

Produksi dari strategi pertama pada 2020 yang sebagian besar terdiri dari kegiatan kegiatan berbasis biaya operasional, seperti menahan natural decline dan mengerjakan routine work programs yang masih bisa ekonomis seperti work over dan well services, diharapkan tidak terlalu besar dipengaruhi harga minyak dibandingkan pengaruh terhadap strategi lainnya yang membutuhkan investasi modal.

“Untuk memastikan hal ini, sejak pertengahan Maret 2020, bidang perencanaan bersama dengan bidang operasi dan bidang SKK Migas terkait lainnya telah melakukan diskusi (melalui video conference) dengan para KKKS Top 15 Producers,” ungkap Jaffee.

Diskusi tersebut, membahas strategi Business Continuity Plan (BCP) yang ditempuh KKKS akibat dampak Covid-19 dan outlook dari target lifting dan program kerja masing-masing KKKS yang telah disetujui pada WP&B 2020. Untuk memastikan agar target 2020 tetap tercapai dengan best effort, pada diskusi tersebut tim SKK Migas selalu menanyakan apa yang bisa SKK Migas bantu kepada para KKKS.

Beberapa dampak Covid-19 terhadap operasional KKKS adalah seperti bertambah lamanya proses pengurusan perizinan dan transportasi material (terutama untuk material yang didapatkan dari luar negeri). Kemudian inspeksi kinerja peralatan fasilitas menjadi lebih lama karena keterbatasan bekerja di lapangan.

Selain itu mobilisasi pekerja ke lokasi lebih sulit karena perizinan dan waktu karantina serta potensi over stay yang berisiko pada keselamatan kerja.

Menurut Jaffee, paling tidak ada dua tantangan utama yang dihadapi KKKS saat harga minyak rendah dan pandemi Covid-19, yaitu keekonomian investasi dan kendala operasional nonteknis. Untuk kendala operasional nonteknis, KKKS meminta adanya pengecualian di sektor hulu migas apabila pemerintah daerah mengimplementasikan kebijakan karantina wilayah atau yang sekarang dikenal dengan istilah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). SKK Migas telah secara pro aktif bekerja keras untuk memitigasi permasalahan ini.

Dari sisi keekonomian investasi, tentunya hal pertama yang dilakukan adalah efisiensi biaya, baik capex maupun opex dan menjaga di masa sulit. SKK Migas telah menjalankan program efisiensi biaya dan optimalisasi program WP&B 2020 yang dilakukan bersama dengan KKKS.

Menurut Jaffee, KKKS juga meminta keringanan pembayaran pajak-pajak tidak langsung (indirect taxes) dan sewa. KKKS bersama SKK Migas juga melakukan negosiasi ulang kontrak-kontrak yang ada untuk mendapatkan harga wajar yang sesuai dengan perkembangan harga minyak dunia. Ketika penurunan biaya tidak cukup untuk meningkatkan keekonomian, maka SKK Migas merekomendasikan stimulus yang cukup fleksibel kepada Menteri ESDM.

“Stimulus ini ditujukan bagi KKKS yang bermaksud untuk menjaga dan meningkatkan produksinya,” katanya.

Hal yang sama juga dilakukan untuk usulan rencana pengembangan (Plan of Development/PoD) baru yang sedang didiskusikan. Hal ini dilakukan agar PoD dapat tetap berjalan seperti yang direncanakan dan investor tetap berminat berinvestasi serta meneruskan penyelesaian PoD-nya. Selain itu, kegiatan studi eksplorasi juga terus dilakukan agar siap membangun masa depan.

SKK Migas sendiri memiliki kelebihan, terutama menyangkut data yang dimilikinya, seperti data cadangan, cost per barel, dan lainnya. Berdasarkan data tersebut, SKK Migas juga telah membangun skenario untuk mengantisipasi dan memitigasi apabila ada perubahan rencana. Hasil mitigasi perubahan rencana telah mengidentifikasi potensi mundurnya proyek-proyek onstream pada 2020.

“Sebagian besar jadwal proyek memang bergeser namun masih pada tahun yang sama, kecuali Proyek Merakes. Proyek Merakes direncanakan onstream pada kuartal III 2020 akan mundur ke awal 2021,” kata Jaffee.

Julius Wiratno, Deputi Operasi SKK Migas, mengatakan SKK Migas dan KKKS bekerja keras menjaga agar proyek hulu migas yang ditargetkan selesai pada 2020 dapat direalisasi tepat waktu. Namun menghadapi pandemi Covid-19 dan penurunan harga minyak, Julius mengaku pihaknya harus duduk bersama dengan KKKS untuk mengevaluasi kegiatan yang dilakukan, termasuk mengevaluasi target capaian proyek.

“Hampir semua KKKS yang kami hubungi meminta akses khusus untuk pekerja dan material yang dibutuhkan untuk menunjang kegiatan yang mereka lakukan. Oleh karena itu kami harus membuat perencanaan ulang. Tujuannya agar kegiatan yang kami lakukan memberi manfaat maksimal bagi negara,” kata Julius.

Insentif

Kondisi pandemi dan harga minyak yang rendah memaksa target lifting minyak dan gas bumi 2020 direvisi, tidak hanya sekali. Untuk lifting minyak dipatok sebesar 705 ribu barel per hari (bph), turun jauh dari target awal di Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2020 sebesar 755 ribu bph. SKK Migas sebelumnya mematok rata-rata lifting minyak sebesar 725 ribu bph. Target untuk lifting gas juga direvisi yakni sebesar 5.536 juta kaki kubik per hari (MMscfd). Sementara untuk gas sebesar 6.670 MMscfd.

Saat itu Dwi Soetjipto, Kepala SKK Migas, mengakui tingkat produksinya melambat. Faktor rendahnya harga minyak dan juga gas alam cair (Liquified Natural Gas/LNG) di tengah pandemi Covid-19 turut berdampak, tidak hanya pada target lifting tapi juga pada besaran investasi sektor hulu migas.
“Investasi awalnya ditargetkan US$ 13,8 miliar, namun berdasarkan kondisi saat ini kami melihat capaian maksimal di angka US$ 11,8 miliar,” kata Dwi, Kamis, 11 Juni 2020.

Dampaknya, target lifting yang telah dua kali direvisi tidak bisa tercapai. SKK Migas mencatat realisasi hingga 30 Novemver 2020 lifting minyak sebesar 703,7 ribu bph atau 99,8% dari target yang telah direvisi 705 ribu bph. Untuk realisasi lifting gas baru 98,1% dari target revisi 5.556 MMscfd atau sebesar 5.455 MMscfd.

Sementara itu, ICP pada November 2020 tercatat naik US$2,60 menjadi US$40,67 per barel dibanding ICP Oktober sebesar US$38,07 per barel. (Alfian)
Deretan insentif bagi industri migas disapkan pemerintah untuk menggenjot investasi yang ujungnya bisa meningkatkan produksi hingga bisa mencapai target satu juta barel per hari (bph.

Pemerintah menyadari industri migas nasional sudah melalui masa-masa sulit dan diperparah dengan kondisi pandemi Covid-19 yang membuat terpangkasnya permintaan energi ditambah anjloknya harga minyak mentah. Situasi makin sulit dengan kenyataan bahwa produksi masih bertumpu pada lapangan migas tua.
Inilah yang membuat pemerintah berkomitmen untuk mendukung pelaku industri migas untuk dapat menggali sekaligus mewujudkan potensi lifting dan produksi migas di Indonesia.

“Kami menggunakan berbagai instrumen fiskal untuk mendukung seluruh siklus bisnis industri hulu migas, mulai dari eksplorasi sampai produksi,” kata Sri Mulyani, Menteri Keuangan saat International Oil and Gas Convention 2020, Rabu, 2 Desember 2020.

Saat itu Sri Mulyani menjabarkan bahwa Kementerian Keuangan telah memberikan pengurangan pajak penghasilan dari 25% menjadi 22% atau 20% dalam dua tahun ke depan sesuai Undang-Undang Cipta Kerja. Pemerintah juga membebaskan bea masuk bandara dan berbagai fasilitas lainnya di kawasan ekonomi khusus. Kemudian tambahan insentif untuk industri migas, pihaknya membebaskan biaya pemanfaatan barang milik negara (BMN).

Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan, meski pemerintah mempercepat pengembangan energi terbarukan, sektor migas masih berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan energi nasional. Selain itu, sektor migas juga menjadi penggerak roda perekonomian nasional, meski juga menghasilkan pendapatan negara.

“Harus kita sadari bahwa kejayaan migas telah berlalu. Untuk itu pemerintah tidak lagi mengedepankan besarnya bagi hasil (split) untuk negara, tetapi lebih diarahkan mendorong agar proyek migas dapat berjalan melalui pemberian insentif bagi beberapa PoD yang selama ini dinilai tidak ekonomis oleh kontraktor,” kata Arifin.

Dengan berbagai upaya yang dilakukan, tentu bukan mustahil target produksi satu juta barel per hari minyak dan 12 ribu MMscfd gas pada 2030 bisa direalisasikan. Apalagi meski di masa sulit, pondasi untuk mewujudkan target tersebut telah mulai dibangun dengan pencanangan transformasi hulu migas melalui Rencana Strategis Indonesia Oil and Gas (IOG) 4.0. Transformasi tersebut mencakup kegiatan usaha hulu migas keseluruhan, dengan SKK Migas selaku pengelola kegiatan usaha hulu migas yang menjadi penggerak.

Fatar Yani Abdurahman, Wakil Kepala SKK Migas, mengatakan tahun ini industri migas memiliki tantangan yang sangat berat dengan adanya pandemi Covid-19 dan rendahnya harga minyak. Hal tersebut menyebabkan terjadinya koreksi pencapaian rencana jangka SKK Migas.  “Namun apabila pandemi dapat dikendalikan pada 2021, kami optimistis LTP akan kembali on track pada 2022 dan 2023,” kata Fatar.(Alfian)