JAKARTA – PT Pertamina (Persero) akhirnya buka suara terkait harga gas untuk industri. Maklum saja perusahaan migas pelat merah itu seyogyanya jadi aktor utama dalam proses penurunan harga gas yang selama ini diminta oleh industri lantaran Pertamina ada di semua lini pembentukan harga gas mulai dari sektor hulu hingga hilir.

Pada sektor hulu beberapa anak usaha Pertamina,  termasuk produsen gas dan memasok kebutuhan gas industri. Di sisi hilir ada PT Perusahaan Gas Negara Tbk yang saat ini menjadi anak usaha Pertamina sebagai distributor serta pengangkut gas, serta menguasai hampir seluruh Infrastruktur gas nasional.

Nicke Widyawati, Direktur Utama Pertamina, mengatakan ada beberapa insentif dari pemerintah jika ingin menjadikan harga gas maksimal sebesar US$6 per MMBTU di konsumen sesuai dengan yang diamanatkan oleh Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2016.

Beberapa insentif yang disodorkan ke pemerintah diantaranya adalah di sektor fiskal. Perusahaan meminta split atau penambahan bagi hasil bagian perusahaan. Selain itu, Pertamina juga ingin adanya insentif pajak, penghapusan cost recovery stop (FTP Holiday), dan perlakuan aset-aset negara yang disewa.

Pertamina ingin ada penghapusan sewa aset hulu oleh Direktur Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan. Pun dengan aset di hilir, perusahaan ingin Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) menghapus sewa aset kilang.

Kemudian Pertamina juga meminta agar Pasal 6 Perpres 40/2016 untuk menjamin bagian kontraktor diimplementasikan.

Dalam pasal 6 ayat 1 berisi penetapan harga gas bumi tertentu tidak mempengaruhi besaran penerimaan yang menjadi bagian kontraktor. Ayat 2 berisi Kepala SKK Migas melalukan perhitungan penerimaan negara atas penetapan harga gas bumi tertentu dengan berkoordinasi dengan Menteri dan Menteri yang menyelenggaeakan urusan di bidang keuangan negara. Kemudian ayat 3 pasal 6 bersiikan ketentuan bahwa perhitungan penerimaam negara berdasarkan penetapan harga gas bumi tertentu setelah memperhitungkan besaram penerimaan yang menjadi bagian kontraktor.

“Jadi kita minta relaksasi di situ dan inilah yg kita yakini dapat menurunkan harga gas jadi USD 4,5 per MMbtu untuk industri tertentu tadi sehingga yang dipatok nanti ini setengah di hulu dan 1,5 di midstream,” kata Nicke di Jakarta, Selasa (25/2).

Kemudian Pertamina juga mengusulkam penetapan harga yang memperhatikan keekonomian investasi hulu, terutama untuk discovery yang marjinal. Selain itu, dukungan untuk ekspor LNG dari volume domestic yang uncommitted juga diperlukan serta pemerintah juga diminta untuk mendukung penjualan gas Hulu ke Refinery Unit dan Refinery Development Master Plan (RDMP).

Pertamina juga meminta peninjauan kembali kewajiban minimal Abandonment Site Restoration (ASR) selama memenuhi kaidah HSE, serta fleksibilitas pembiayaan ASR. Cutting Dumping (pembuangan serpihan sisa pemboran) dan Dredging (pengerukan) agar dimudahkan.

Jaminan ketersediaan rig untuk aktivitas pengeboran juga diminta Pertamina, kemudian juga meminta adanya insentif untuk kegiatan eksplorasi di area frontier dan remote, misalnya split kontraktor yang lebih tinggi, diskresi pemerintah.

Saat ini, struktur harga gas hingga ke konsumen adalah 70% dari hulu dan 30% dari hilir. Dari 30% hilir, rinciannya 13% transmisi dan 17% distribusi dan niaga yang dikelola PGN.

Menurut Nicke, harga gas terbentuk berdasarkan regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah mulai dari alokasi hingga penggunaannya harus berizin. Untuk penetapan harganya juga berdasarkan formulanya.

Harga gas setiap wilayah juga berbeda sesuai dengan kondisi pasokan gas dan konsumen misalnya harga gas di hulu 2019 berdasarkan jenis industri dan region di Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah harganya lebih murah ketimbang dengan di Jawa sebab dekat dengan sumbernya. Sementara di Jawa, gas bumi diangkut dari Lapangan Bontang di Kalimantan dan Lapangan Tangguh di Papua.

“Makanya perlu transportasi, regasifikasi, toll fee dan lainnya, sehingga relatif tinggi makanya komponen harganya banyak,” kata Nicke.(RI)