Kegiatan eksplorasi dan produksi migas di Indonesia.

Kegiatan eksplorasi dan produksi migas di Indonesia.

JAKARTA – Kriminalisasi terhadap kontrak kerjasama pengelolaan minyak dan gas bumi (migas) atau Production Sharing Contract (PSC) terbukti telah menghambat investasi. Indonesia sama sekali tidak bisa berharap adanya peningkatan produksi migas dalam kondisi sekarang ini.

Hal ini diungkapkan Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto terkait kondisi investasi di sektor migas pada 2014. Menurutnya, kriminalisasi terhadap kontrak migas, salah satunya yang dialami karyawan dan kontraktor PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) dalam kasus bioremediasi, telah menjadi salah satu penghambat utama investasi di sektor migas tahun ini.

“Terbukti, sampai 2014 tidak ada investasi besar sektor migas yang masuk ke Indonesia. Para investor takut dan ragu-ragu, setelah masuk dan menanamkan modal dalam jumlah besar, kontraknya diintervensi oleh pihak lain. Yang sudah terlanjur masuk (menanamkan investasi, red) untuk sementara memilih bertahan,” ujar Pri Agung di Jakarta, Jumat, 24 Januari 2014.

Di sektor hulu migas Indonesia saat ini, kata Pri Agung, para investor takut dan malas masuk. Sedangkan yang sudah terlanjur masuk, hanya mau bertahan, tanpa mau menanamkan investasi lebih besar lagi. Mereka cuma melanjutkan, merawat fasilitas dan menjaga tetap berproduksi. “Kita sulit berharap investasi yang besar pasca kasus bioremediasi. Misalnya investasi yang besar untuk EOR (Enhance Oil Recovery), tidak akan terjadi,” ucapnya.

Bila kondisi ini terus berlanjut, imbuhnya, maka kita tidak bisa berharap produksi minyak nasional bisa naik sampai diatas satu juta barel per hari, seperti yang ditargetkan pemerintah. “Jangankan naik, bertahan saja sulit. Yang jelas produksi minyak akan terus turun akibat kondisi ini. Kontraktor migas yang ada hanya mau merawat lapangan, tapi takut investasi,” tandasnya.

Menurut Pri, kalau ingin produksi minyak naik, mutlak dibutuhkan investasi. Baik untuk eksplorasi maupun  untuk mengoptimalkan sumur produksi. “Mustahil produksi minyak naik tanpa investasi baru. Tapi kenyataannya sekarang, investor takut masuk,” ungkapnya. 

Dalam situasi seperti ini, kata Pri Agung, mestinya pemerintah turun tangan. Presiden harus meluruskan persoalan bioremediasi ini, agar tidak terus menghambat investasi. Tapi yang terjadi presiden hanya diam, dan tiap-tiap komponen penyelenggara negara termasuk penegak hukum jalan sendiri-sendiri. Padahal para pakar hukum telah menegaskan, bioremediasi bukan kasus korupsi.

Tidak Melawan Hukum

Sebelumnya, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran (Unpad) Prof DR Romli Atmasasmita, SH LLM telah menegaskan, kasus bioremediasi mutlak bukan kasus korupsi. Selain karena kegiatan pembersihan bekas minyak pada tanah itu dinaungi PSC yang masuk ranah perdata, kesalahan yang dituduhkan kepada para karyawan dan kontraktor PT CPI merupakan pelanggaran administratif.

“Mereka ini kan dianggap bersalah gara-gara ada kontrak yang tidak dibaca secara teliti. Kalau toh itu benar, maka kategorinya mal-administrasi, bukan korupsi. Mal-administrasi tidak sama dengan perbuatan melawan hukum,” ujar guru besar yang ikut menyusun Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) ini. 

Romli menerangkan, ada tiga unsur yang harus dipenuhi, untuk menentukan suatu perbuatan itu termasuk korupsi atau tidak. Yang perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan wewenang, dan adanya kerugian negara. Ketiga unsur ini harus dipenuhi secara komulatif. Jika salah satunya tidak ada, maka tidak bisa disebut tindak pidana korupsi.

Ia menambahkan, dalam UU Tipikor juga ada pasal 14 yang mengatur batasan-batasan perbuatan yang dikategorikan korupsi. Namun pasal 14 ini seolah tidak pernah ditengok oleh penegak hukum, baik jaksa, hakim, termasuk pengacaranya.

“Jaksanya merasa tidak seksi jika suatu kasus tidak digiring ke korupsi. Hakimnya takut kalau tidak memvonis bersalah orang yang dituduh korupsi, akan dianggap membebaskan koruptor, diperiksa Komisi Yudisial, dan sebagainya. Pengacaranya takut kalau membela dengan pasal 14, maka kasus cepat selesai dan ‘argo’-nya pendek. Nah negara hukum macam apa Indonesia ini?,” tukasnya.

Di Amerika Serikat sendiri yang pelopor pemberantasan korupsi, kata Romli, diterapkan kebijakan yang menghormati kontrak bisnis dan korporasi. Bagi perbuatan korporasi yang berpotensi merugikan keuangan negara, tidak dikategorikan korupsi asalkan korporasinya mengembalikan uang yang dipersoalkan. “Lho kok di Indonesia sok-sok-an semuanya dikategorikan korupsi,” tuturnya heran.

Dimintai tanggapannya pada Jumat malam, 24 Januari 2014, Corporate Communication Manager Chevron Indonesia, Dony Indrawan menjelaskan bahwa Chevron senantiasa bekerjasama dengan lembaga pemerintah berwenang dalam menjalankan operasi migasnya. Untuk proyek bioremediasi, lembaga yang berwenang telah mengkonfirmasi bahwa proyek telah taat hukum baik dari sisi pengadaan, izin dan juga keberhasilan pelaksanaannya.

Apalagi menurutnya tidak ada bukti kerugian negara dalam proyek ini. “Selain proyek bioremediasi masih sepenuhnya dibiayai oleh CPI juga sampai sidang putusan tahun 2013 lalu tidak jelas ada pelanggaran pidananya serta tak ada keuntungan yang dinikmati karyawan dan kontraktor CPI,” ujar Dony.

Penanganan kasus ini sebagai kasus korupsi, lanjut Dony, telah mengabaikan konteks hukum yang menaungi operasi migas dan kesepakatan kontrak PSC yang ditandatangani pemerintah sehingga selain menimbulkan ketidakpastian hukum dan berpotensi mengganggu investasi namun juga terbukti telah melanggar hak asasi manusia (HAM) para karyawan dan kontraktor CPI sebagaimana laporan yang telah disampaikan Komisi Nasional (Komnas) HAM soal kasus ini.

Investor Kabur

Pakar hukum migas, M Hakim Nasution juga telah menerangkan, kegiatan yang dinaungi PSC tidak bisa dikategorikan korupsi. Karena dalam PSC telah diatur mekanisme over dan under lifting (pengembalian, red) jika terjadi kelebihan atau kekurangan penyerahan minyak jatah negara. “Jika terjadi perselisihan, mekanisme penyelesaiannya melalui arbitrase. Jadi PSC ini murni perdata,” tegasnya.

Terkait kriminalisasi yang terjadi pada PSC, Hakim menilai bukan UU-nya yang salah. Melainkan tidak adanya leadership (kepemimpinan) yang meluruskan arah penegakan hukum. “Sistem politiknya harus diubah, agar ke depan kita mendapat pemimpin yang berkualitas,” ujarnya. Hakim pun memastikan, investor tidak akan ada yang berani masuk, bahkan kabur dari Indonesia, jika situasi ini tidak dibenahi.

Tahun lalu, Kepala Bagian Humas Satuan Kerja Khusus Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Elan Biantoro juga telah mengungkapkan kenyataan pahit yang dialami investasi migas, akibat kriminalisasi bioremediasi. Ia menduga, kasus bioremediasi ikut memicu dua investor asing di sektor hulu migas kabur, tidak lagi menanamkan modalnya di Indonesia.

Investor yang kabur itu adalah dua perusahaan asal Amerika Serikat, Anadarko Petroleum Corporation dan Hess Corporation. Anadarko melepas seluruh wilayah kerjanya, diantaranya di Sulawesi Barat dan Sumatera Selatan, padahal perusahaan itu sudah sempat melakukan pengeboran.

Semua saham Anadarko akhirnya dijual ke PT Pertamina (Persero) melalui Pertamina Hulu Energi yang sebelumnya memang telah mencapai kesepakatan definitif dengan Anadarko Offshore Holding Company LLC, untuk mengakuisisi 100% saham dari tiga anak perusahaan Anadarko.

Sedangkan Hess, juga telah melapor kepada SKK Migas akan menjual seluruh asetnya di Indonesia. Yakni Lapangan Gas Pangkah dengan 75% hak partisipasi, sisanya dikuasai oleh Kuwait Foreign Petroleoum Exploration (Kufpec). Satu lagi adalah 100% hak partisipasi di Blok Semai V yang dalam tahap eksplorasi.

Memang, kata Elan, banyak alasan Anadarko dan Hess hengkang dari Indonesia. Namun ia menduga salah satunya adalah ketidakpastian hukum, yang dipertontonkan dalam penanganan kasus bioremediasi Chevron.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)