JAKARTA – Langkah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengajukan revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara (UU Minerba) ke DPR RI pada 8 Juli 2019 dinilai aneh. Pasalnya, sebelumnya Sekretariat Negara mengembalikan RPP Minerba ke-6 pada Kementerian ESDM, dan pengembalian itu atas permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada Presiden, karena dianggap menyimpang dari regulasi yang ada, termasuk pemberian Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) terhadap PT Tanito Harum adalah sebuah pelanggaran.

“Padahal, sebelumnya sekitar April 2018 Menteri ESDM Ignasius Jonan telah mengatakan tidak perlu cepat merevisi UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009,” kata Yusri Usman, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) kepada Dunia Energi, Senin (15/7).

Yusri mengatakan, adapun alasannya saat itu menurut Jonan masih belum 10 tahun sejak diundangkan, maka tidak ada urgensinya UU Minerba tersebut untuk direvisi.

Kementerian ESDM selama ini terkesan tersandera oleh konglomerat batu bara dan berpotensi upaya menjerumuskan Presiden, mengingat sikap Presiden Joko Widodo sangat berbeda dalam menentukan kebijakan di sektor minerba.

“Contohnya, divestasi saham PT Freeport Indonesia sangat ngotot sampai dengan segala cara agar kita dapat menguasai saham 51%. Inalum terpaksa mencari pinjaman sebesar US$3,85 miliar, namun ironisnya saat ini ada potensi tambang batu bara eks lahan batu bara secara gratis dapat diperoleh oleh BUMN tambang tetapi pemerintah terkesan mengabaikannya,” ungkap Yusri.

Selain itu, kata dia, dari sisi potensi penerimaan negaranya jauh lebih besar jika dibandingkan dengan tambang Freeport. Adapun nilai potensi pendapatan bersih bisa mencapai US$2,5 miliar setiap tahunnya bagi BUMN tambang.

Oleh karena itu timbul pertanyaaan publik apakah upaya tergesa-gesa saat ini yang telah dilakukan Kementerian ESDM hanya untuk kepentingan menyelamatkan tujuh pemilik PKP2B agar dapat diperpanjang izinnya dalam bentuk IUPK atau untuk kepentingan ketahanan energi nasional.

“Karena, tidak ada satu kalimatpun di dalam UU Minerba dan PKP2B ada kewajiban bagi pemerintah untuk memperpanjangnya,” kata Yusri.

Dia menekankan, seharusnya sejak awal terhadap lahan tambang PKP2B generasi pertama oleh Kementerian ESDM sudah menunjuk BUMN tambang untuk menjadi pelaksananya sesuai ketentuan UU Minerba pasal 74. Pentingnya kebijakan itu agar terhindar kekosongan kendali tambang dari kerusakan yang berdampak terhadap lingkungan yang akan terjadi dan pemutusan hubungan kerja seluruh karyawan yang sudah lama bekerja diperusahaan PKP2B tersebut.

Yusri mengatakan seharusnya Kementerian ESDM berkomitmen tinggi dalam menjalan kebijakannya sesuai UU Minerba dengan memberikan semua lahan PKP2B generasi pertama yang izinnya akan berakhir kepada BUMN tambang untuk menjaga ketahanan energi nasional jangka panjang dengan menjadi energi primer batu bara sebagai penyangga kebutuhan PLTU milik PT PLN (Persero) dan swasta yang diperkirakan mencapai 180 juta metrik ton pertahun pada tahun 2024.

“Sebaiknya KPK mengawal ketat proses revisi UU Minerba ini di DPR, apalagi menjelang berakhirnya masa DPR periode 2014 – 2019 sangat rawan terjadi praktek kongkalikong dengan pemilik PKP2B dan oknum pejabat Kementerian ESDM,” tandas Yusri.(RA)