JAKARTA – PT Pertamina (Persero) telah menghentikan impor bahan bakar pesawat atau avtur dalam tiga bulan terakhir seiring penurunan konsumsi sejak Januari 2019.

Fariz Aziz, Vice President Supply and Distribution Pertamina,  menuturkan penurunan jumlah permintaan membuat kemampuan produksi avtur dari kilang milik Pertamina sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan, sehingga perlu tidak lagi impor.

“Untuk avtur kami sudah tidak impor lagi, jadi sudah dipenuhi dari kilang di dalam negeri,” kata Fariz dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (29/4).

Untuk memenuhi kebutuhan avtur, ada dua fasilitas utama yang memasok, yakni Kilang Cilacap dan Balongan.

Data Pertamina, menyebutkan katahanan stok avtur pada 25 April mencapai 42 hari dengan volume sebesar 563.644 KL. Sementara sebelum terjadi penurunan konsumsi pada awal tahun lalu ketahanan stok avtur lebih singkat dari itu.

Rata-rata konsumsi harian avtur pada tahun ini tercatat sebesar 13.414 KL, turun sekitar 12,8% jika dibanding rata-rata konsumsi avtur pada 2018 sekitar 15.500 KL.

Penurunan konsumsi bukan karena berkurangnya pasokan, melainkan akibat dari penurunan permintaan dari maskapai yang frekuensi penerbangannya turun.  Ini tidak lepas dari kondisi masih mahalnya harga tiket pesawat, khususnya untuk penerbangan domestik.

“Pertamina kan satu-satunya yang melayani  sesuai kebutuhan mereka. Kalau frekuensi pesawat turun, permintaan avtur juga turun,” kata Eldi Hendry, Vice President Aviation Pertamina.

Mahalnya harga tiket pesawat sudah dirasakan sejak awal tahun ini. Kementerian Perhubungan sendiri sudah menyerah dalam usaha menurunkan harga tiket. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kini yang akan mencari solusi penurunan harga tiket pesawat.

Budi Karya Sumadi, Menteri Perhubungan mengaku telah menyampaikan permintaan kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) perihal hal tersebut.

“Kami minta Kemenko Perekonomian dan Kementerian BUMN juga turut serta mengatur tarif maskapai, khususnya Garuda Group. Karena Garuda ini market leader. Kalau dia menetapkan tarif batas atas, maka yang lain ikut. Tapi kalau dia turun sebagian, maka yang lain juga akan turun,” kata Budi.(RI)