Sidang kasus bioremediasi PT CPI.

Sidang kasus bioremediasi PT CPI.

JAKARTA – Mencuatnya kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) telah memperparah ketidakpastian hukum di sektor minyak dan gas bumi (migas) Indonesia. Hal itu terjadi, karena aparat penegak hukum dalam hal ini jaksa dan hakim sangat minim pemahamannya terhadap persoalan tersebut. Sehingga hanya menurut saja pada keterangan saksi dan ahli yang tidak kompeten.

Hal ini terungkap dalam diskusi “Kepastian Hukum Investasi di Sektor Migas” yang berlangsung di Jakarta, Selasa, 8 Oktober 2013. Pakar hukum dari Universitas Indonesia (UI) Dr Dian Puji Simatupang, SH, MH menuturkan, kepastian hukum memang sudah berlangsung sejak lama di Indonesia, termasuk di industri migas.

“Sumber dari ketidakpastian hukum di Indonesia adalah regulasi yang tidak terstruktur dan tidak tertib secara administrasi. Universitas Indonesia pernah melakukan pengkajian terhadap hukum di Indonesia, dan menemukan banyak yang saling bertentangan,” ujar Dian Puji yang menjadi salah satu pembicara dalam diskusi itu.

Pembicara lainnya, yakni pakar bioremediasi dari Pusat Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi (Lemigas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Prof M Udiharto menuturkan, peraturan perlindungan lingkungan sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 33 tahun 2009.

Sedangkan khusus untuk penggunaan teknologi bioremediasi dalam rehabilitasi lingkungan di industri hulu migas, telah diatur dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup (Kepmen LH) Nomor 128 Tahun 2003, dimana Udiharto juga turut terlibat dalam penyusunannya.

“Dalam dua regulasi itu sudah jelas diatur bahwa apabila terdapat masalah lingkungan, seharusnya KLH (Kementerian Lingkungan Hidup) yang menangani, menyelidiki, menyidik, hingga membuktikan adanya pelanggaran. Namun kenyataan, dalam kasus bioremediasi justru KLH ikut dipersalahkan,” ujarnya.

Ia mensinyalir banyak aparat penegak hukum yang tidak paham tentang apa itu bioremediasi dan prosedur pelaksanaannya, hingga proses pengawasannya oleh instansi yang berwenang, yakni KLH. Akibatnya, aparat penegak hukum berjalan dengan persepsinya sendiri, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum seperti yang terjadi sekarang.

Pada kesempatan yang sama, anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Milton Pakpahan mengungkapkan, kasus bioremediasi yang mendera PT CPI, telah menimbulkan kekhawatiran perusahaan migas lainnya, nakal ikut terimbas lemahnya kepastian hukum di Indonesia.

Maka dari itu, ujarnya, sangat dibutuhkan perbaikan regulasi untuk membenahi masalah ini dan memberikan kepastian hukum kepada investor. “Aparatur hukum seharusnya diberikan pelatihan dan pengenalan yang memadai tentang berbagai hal teknis terkait industri migas, agar ke depan tidak terulang kasus yang amat merugikan iklim investasi di sektor migas ini,” ujarnya.

Alkisah Seorang Saksi dan Ahli

Dalam catatan Dunia Energi, kasus di atas bermula dari penyelidikan Kejaksaan Agung (Kejagung) terhadap proyek biormediasi PT CPI, yang diduga merugikan keuangan negara. Penyidik Kejagung mengaku, dugaan itu bermula dari laporan anggota masyarakat.

Dari seluruh dakwaan yang telah terungkap di persidangan, inti dari tuduhan Kejagung adalah bahwa proyek bioremediasi PT CPI fiktif, tanah yang diolah CPI dengan teknologi bioremediasi mestinya sudah bersih, namun CPI tetap menjalankan proyek itu dan biaya yang ditimbulkan dimintakan penggantian ke negara lewat mekanisme cost recovery, sehingga merugikan negara dan mengandung unsur korupsi.

Kejagung mendasarkan seluruh tuduhannya itu pada keterangan seseorang bernama Edison Effendi, yang oleh Kejagung dijadikan saksi sekaligus ahli. Sebagai saksi, Edison turun ke lapangan, mengambil sampel dari lokasi bioremediasi CPI, melakukan pengujian di laboratorium ‘dadakan’ di kantor Kejagung, dan menyatakan Total Petroleum Hydrocarbon (TPH) pada sampel tersebut dibawah 7%.

Menurut Edison, tanah tercemar limbah minyak yang boleh dibersihkan dengan teknologi bioremediasi, ialah yang kadarnya 7% sampai 15%. Menurutnya, tanah yang kadar TPH-nya sudah dibawah 7% sudah tidak perlu dibioremediasi, sehingga kegiatan bioremediasi yang dilakukan PT CPI dan dimintakan penggantian biaya ke negara adalah bohong belaka alias fiktif.

Awalnya, Edison mengaku semua keterangannya itu didasarkan pada Kepmen LH 128/2003. Padahal dalam Kepmen LH 128/2003 disebutkan, tanah yang boleh dibioremediasi adalah yang TPH-nya dibawah 15%, untuk dibersihkan hingga kadar TPH-nya dibawah 1%. Semua saksi dan ahli baik dari KLH, Lemigas, ITB, IPB, dan banyak lembaga lainnya, menuturkan hal yang sama di depan persidangan.  

Celakanya, setelah dicecar penasehat hukum para terdakwa di persidangan, dan pendapatnya dimentahkan oleh para saksi dan ahli tersebut, Edison akhirnya mengaku tidak membaca detail Kepmen LH 128/2003. Semua keterangannya itu hanya didasarkan pengalamannya secara pribadi.

Edison juga mengaku selama ini tidak punya izin praktek bioremediasi dari KLH. Para ahli bioremediasi, yang jumlahnya belum terlalu banyak di negeri ini, juga mengaku saling mengenal satu sama lain dan saling bertukar pengetahuan dalam berbagai forum seminar dan penelitian, kecuali dengan Edison Effendi yang namanya baru terdengar setelah kasus bioremediasi CPI mencuat ke permukaan.

Lebih memilukan lagi, sejak awal persidangan terungkap bahwa Edison adalah seseorang yang beberapa kali pernah kalah tender proyek bioremediasi PT CPI. Bahkan beberapa karyawan CPI menyebutkan, Edison pernah menebar ancaman akan balas dendam, saat kalah tender bioremediasi CPI. Hal ini pun sudah diungkapkan di depan persidangan.   

Bak Kerbau Dicocok Hidung

Namun herannya (mungkin karena tidak paham persoalan) pihak Kejagung begitu percaya dan menurut bak kerbau dicocok hidung pada keterangan Edison Effendi, yang nyata-nyata tidak kompeten dan tidak obyektif ini. Enam terdakwa, semuanya dituntut atas dasar keterangan Edison Effendi. Keterangan saksi dan ahli lainnya sama sekali tidak digubris oleh Kejagung.

Lebih sadis lagi (mungkin juga karena tidak paham persoalan) dalam menjatuhkan putusan atas lima terdakwa, dua kontraktor dan tiga karyawan PT CPI, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juga menggunakan keterangan Edison Effendi yang dikutip dari dakwaan jaksa. Keterangan saksi dan ahli lainnya tidak dijadikan pertimbangan.

Pada akhirnya, semua kembali pada nurani penegak hukum, utamanya Majelis Hakim. Akankah masih bertahan menghukum saudaranya sendiri sebangsa dan setanah air, berdasarkan keterangan seorang saksi dan ahli semacam Edison Effendi?

Kalau memang tidak paham persoalan, sudah sepantasnya dalam menentukan nasib orang, penegak hukum menggunakan keterangan ahli yang kompeten, atau minimal mempunyai rekam jejak yang jelas.  

(Abraham Lagaligo /abrahamlagaligo@gmail.com)