Herland bin Ompo saat mendengarkan vonis dari Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta dalam kasus bioremediasi.

Herland bin Ompo saat mendengarkan vonis dari Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta dalam kasus bioremediasi.

Tuduhan korupsi dan vonis hakim dalam kasus bioremediasi dirasakan oleh Herland bin Ompo, kontraktor PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), sebagai salah satu cobaan terberat dalam hidupnya. Keluarga menderita, perusahaan yang telah susah payah dibangun luluh lantak.

“Yang penting sekarang anak-anak dan istri saya tetap bisa makan, itu saja. Saya tidak mau banyak berharap dengan proses hukum yang saat ini berjalan. Terlalu banyak kejanggalan dan dipaksakan,” ucap Herland ketika ditemui di ruang tahanan Kejaksaan Agung, pekan lalu.

Herland mengisahkan, dirinya membangun dengan susuah payah perusahaannya, PT Sumigita Jaya (SGJ) sampai pada akhirnya bisa ikut dan menang dalam tender terbuka  Chevron, untuk program bioremediasi. Sebuah proyek pemulihan tanah terkontaminasi minyak.

“Pada kontrak bioremediasi, perusahaan saya terbilang berhasil. Chevron pun membayar jasa dan pekerjaan kami. Pinjaman dari bank yang saya pakai melengkapi alat-alat berat pendukung pekerjaan, juga bisa saya cicil dengan baik. Karena Chevron memverifikasi kerja kami, maka tak pernah terbayangkan kalau kami tiba-tiba dituduh korupsi,” kisah Herland.

“Selain kami tak tahun menahu soal asal-usul uang yang dibayarkan atas hasil kerja kami, kami pun hanya berkontrak dengan Chevron dan bukan pemerintah. Proyek bioremediasi inipun dilaporkan ke KLH (Kementerian Lingkungan Hidup). Jadi pemerintah pun mengetahui dan mengawasinya,” ujarnya.

Namun menurutnya, semua cerita keberhasilan itu sirna, manakala huru-hara kasus bioremediasi ini muncul. Dengan tidak adanya Herland sebagai pembuat keputusan utama –karena sudah hampir satu setengah tahun mendekam dalam tahanan– usaha pun turut mandek.

“Sedihnya lagi beberapa alat berat yang menjadi modal kerja hasil dari pinjaman bank, juga telah disita Kejaksaan. Perusahaan yang saya bangun susah payah dari nol, kini sedang mengalami masa krisis yang luar biasa,” imbuhnya dengan mata menerawang.

Istri Herland dan anak-anaknya masih tinggal di Riau. Saat dihubungi melalui telepon, Sumiyati, istri Herland bercerita, sulit bagi dia dan anak-anak untuk sering-sering menjenguk Herland di tahanan. Apalagi biaya perjalanan ke Jakarta tidak murah. Sedangkan kondisi keuangannya saat ini morat-marit.

“Keluarga kami kini dihadapkan dengan tenggat waktu pembayaran peminjaman bank yang digunakan untuk memperbesar usaha. Apabila kami tidak bisa melunasi, maka rumah dan seluruh jaminan akan disita,” tutur Sumiyati dengan suara seakan menahan tangis.

Menurutnya, berhemat menjadi satu-satunya cara untuk bertahan saat ini. Semenjak usahanya bangkrut, kehidupan keluarga Herland kini hanya bergantung pada usaha salon kecantikan Sumiyati.

Jual Barang Untuk Makan

Sumi pun bercerita bahwa suaminya mengaku sangat merindukan istri dan anak-anaknya. Namun suaminya berusaha memahami keadaan di rumah dan tidak menuntut banyak dari mereka. “Daripada uangnya dipakai untuk bolak-balik pergi ke Jakarta, lebih baik dipakai untuk makan sehari-hari,” kata Herland seperti yang dituturkan istrinya.

Dengan adanya kasus bioremediasi, kredibilitas perusahaan Herland , menurut Sumiyati, turut diragukan oleh banyak pihak dan order pekerjaan merosot tajam. Ia pun tidak tahu bagaimana dapat melunasi hutang-hutang suaminya pada bank, karena sebagian besar harta bendanya sudah banyak yang terjual, demi membiayai berbagai kebutuhan selama kasus berjalan, termasuk untuk makan sehari-hari.

Herland dan istrinya hanya bisa pasrah dan realistis tentang apa yang sedang dan akan mereka jalani ke depan. “Kasus ini sangat janggal dan dipaksakan. Orang yang bersaing dengan saya dan kalah dalam tender bioremediasi ini yang jadi pelapor kasus ini, dia pun ikut memeriksa ke lapangan dan hadir sebagai ahli jaksa di persidangan dan berkata tidak jujur, tapi terus saja keterangannya dipakai oleh hakim dan jaksa,” ungkap Herland.

Sumiyati, yang selama ini menemani suaminya di persidangan dan telah mendengarkan semua kesaksian yang ada, tahu betul tak satupun yang menyatakan suaminya bersalah, kecuali keterangan dari Edison Effendi, pesaing suaminya dalam tender bioremediasi. Sumiyati masih tak percaya kalau hakim tetap memvonis suaminya bersalah. Saat itu Sumiyati sempat pingsan.

“Saat ini kami hanya bisa pasrah dan terus berdoa. Saya sendiri memang tidak tahu akan jadi seperti apa kalaupun suami saya nanti bebas. Yang pasti utang bank sudah menunggu untuk dilunasi. Kalau tidak bebas, ya saya lebih tidak tahu lagi harus bagaimana,” ujar Sumiyati dengan nada pasrah.

(Iksan Tejo / duniaenegi@yahoo.co.id)