JAKARTA – Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menyatakan ada 98 pabrik smelter pyrometallurgy dan hydrometallurgy yang rencananya  terbangun dengan konsumsi bahan baku bijih nikel bisa mencapai sebesar 255 juta ton per tahun.

Meidy Katrin Lengkey, Sekretaris Jendral Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), mengungkapkan kondisi itu cukup mengkhawatirkan bagi kelangsungan bisnis nikel Tanah Air. Menurut dia jika data cadangan terukur bijih nikel hanya 4,6 miliar ton, industri hilir nikel hanya bisa bertahan maksimal 18 tahun. “Itu pun dengan kondisi bijih nikel kadar tinggi (di atas 1,6 persen) hanya 1,7 miliar ton, jika industri pyrometalurgy hanya menggunakan bijih nikel kadar tinggi maka umur pabrik ini hanya bertahan tujuh tahun,” kata Meidy, Senin (28/6).

Untuk itu APNU kata Meidy mendukung rencana pemerintah yang akan membatasi pembangunan smelter nikel baru. Terutama untuk smelter nikel kelas dua yakni feronikel (FeNi) dan Nickel Pig Iron (NPI).

Dia menuturkan berdasarkan data APNI, industri hilir khusus nikel yang akan dibangun baik smelter yakni sebanyak 98 perusahaan. Angka tersebut terdiri dari 25 pabrik yang sudah produksi, 41 perusahaan yang sedang melakukan konstruksi dan 32 perusahaan yang sedang berproses perizinan.

Sebagai gantinya Meidy berharap pemerintah tetap mengundang investor untuk berinvestasi pada produk akhir turunan nikel. “Seperti stainless steel, baterai dan electric vehicle,” ungkap dia.

APNI juga menyarankan pemerintah untuk membatasi eksport produk kelas 2 (NPI/FeNi) minimal 30-50 persen untuk lokal, sehingga pabrik dalam negeri
seperti Krakatau Steel bisa memproduksi olahan nikel yaitu stainless steel atau olahan logam lainnya. “Sehingga pabrik Indonesia bisa bersaing untuk industri logam dunia,” tegas Meidy. (RI)