Kukuh Kertasafari usai mengikuti persidangan kasus bioremediasi.

Kukuh Kertasafari.

Dendam kesumat membawa ahli bioremediasi ini kembali ke Duri pada Februari 2012. Menjerat lima pria dan dua wanita tak berdosa. Berkubang dalam lumpur tuduhan korupsi proyek bioremediasi.

Meski sudah lebih dari setahun berlalu, Widodo masih ingat betul peristiwa itu. Tepatnya 8 Februari 2011, pria yang menjabat Construction Representative ini sedang berada di lapangan Duri PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), Riau. Ia ditelepon dari Rumbai, dan diberi tahu kalau sedang ditunggu oleh Tim dari Kejaksaan Agung (Kejakgung) di Hotel Surya. “Saat itu jam 16.00 WIB,” kenangnya di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin, 3 Juni 2013.  

Saat itu, kata Widodo, Tim Kejaksaan diketuai oleh Sugeng Sumarno. Ada juga Febru dan Agus, serta Edison Effendi dan Indah. Sugeng, Febru, dan Agus adalah penyidik Kejakgung, sedang Edison dan Indah adalah ahli yang mendampingi penyidik untuk mengambil sampel tanah, guna pengusutan kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek bioremediasi CPI.  

Widodo masih sangat mengenal Edison Effendi. Pasalnya, pria yang beralamat di Tangerang, Banten itu, pernah beberapa kali mengikuti tender kontraktor bioremediasi CPI. Bahkan Widodo sempat bertemu langsung dengan Edison, saat PT Adimitra menjalankan pilot project (proyek percontohan) bioremediasi. Dalam dokumen tertulis PT Adimitra menjalankan bioremediation pilot project di CPI pada Juni 2004.

“Saat itu, terdakwa sebagai orang lapangan yang mengetuai tim Adimitra,” ingat Widodo. Dalam dokumen Adimitra, jabatan Edison Effendi ditulis “Specialist & Analyst”.  Berlangsung beberapa bulan, pilot project itu dinyatakan gagal oleh manajemen CPI. Selain itu, Widodo juga ingat, Edison Effendi pernah ikut tender bioremediasi di CPI, mewakili PT Putra Riau Kemari, tepatnya Agustus 2011. Di surat kuasa jabatan Edison ditulis “Bioremediation Expert”. Sayangnya, Putra Riau Kenari juga kalah tender.     

Ketika menemui tim penyidik Kejakgung yang hendak mengambil sampel tanah, Widodo tak mampu menahan gejolak hatinya. Diutarakanlah kegelisahannya kepada salah satu jaksa yang ditemuinya. “Pak, Edison ini bukannya pernah ikut tender? Bukankah nanti ada konflik kepentingan?,” kata Widodo kepada salah satu penyidik.

Namun jaksa yang diajak bicara oleh Widodo, malah pergi ke pojok ruangan bersama Edison. Keduanya tertawa-tawa. “Lalu penyidik dan Edison memutuskan langsung ke SBF (Soil Bioremediation Facilities) PT CPI di Pematang, untuk mengambil sampel tanah,” kisahnya. Masih menurut Widodo, saat berada di SBF, Edison yang menunjukkan jaksa di mana harus mengambil sampel tanah. Sampel diambil dengan alat seadanya, termasuk menggunakan cangkul.  

Widodo sendiri saat ini sedang menjadi pesakitan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Oleh Kejakgung, bapak tiga anak ini dituduh melakukan korupsi bersama-sama dengan Endah Rumbiyanti dan dua kontraktor rekanan CPI, Ricksy Prematuri (PT Green Planet Indonesia/GPI) dan Herlan bin Ompo (PT Sumigita Jaya/SGJ) dalam proyek bioremediasi yang berlangsung dari 2006 sampai 2011. Untuk mendakwa Widodo, Kejakgung menggunakan keterangan ahli sekaligus saksi Edison Effendi.  

*****

Tidak seperti Widodo, Kukuh Kertasafari mengaku baru sekali bertemu Edison Effendi. Namun pertemuan itu amat mengesankan. Selain harus mendengar langsung sumpah serapah sang ahli bioremediasi, Team Leader Produksi Area 5 & 6 CPI ini pun harus merasakan pengapnya ruang tahanan Kejakgung, tak lama setelah berkenalan dengan Edison Effendi.   

Pertemuan antara Kukuh dan Edison, terjadi pada 9 Februari 2012. Saat itu, Kukuh diminta menemani rombongan Kejakgung yang berkunjung ke lapangan Sumatera Light South (SLS) Minas PT CPI di Riau. Ikut dalam rombongan itu, jaksa Sugeng dan Febru selaku penyidik.

Awalnya Kukuh tidak tahu-menahu maksud kunjungan para jaksa itu ke SLS. Ia mengetahui adanya kunjungan para jaksa itu malam sebelumnya. Bapak lima anak ini diminta oleh manajernya untuk menemani rombongan penegak hukum itu. Sebagai Team Leader Produksi, ia punya akses untuk masuk ke setiap sudut area, dan cukup menguasai medan. Ia baru mengetahui maksud kunjungan tersebut saat meeting pada siang hari, yakni untuk mengambil sampel tanah terkait kasus bioremediasi.

Saat mengawal tim Kejakgung itulah, oleh jaksa Sugeng, Kukuh dikenalkan dengan Edison Effendi dan Indah, yang mengaku ahli bioremediasi pendamping penyidik Kejakgung. Edison dan Indah sempat ditanya oleh bagian legal CPI soal surat tugas, namun tidak bisa menunjukkan. Oleh Kukuh, akhirnya tim penyidik dan dua ahlinya ini diantar ke stock pile, SBF, dan spreading area. Kukuh dan tim CPI lainnya ikut ke manapun rombongan jaksa pergi.

Perkenalan awal Kukuh dan Edison berlangsung hangat. Bertukar cerita sesama lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB). Edison sempat bertanya Kukuh di bagian apa, karena mengenakan seragam lapangan. Kukuh menjawab, ia di bagian produksi. Saat itulah Edison mengungkapkan kekesalannya, karena selalu gagal ikut tender bioremediasi di CPI.

“Chevron nggak pernah kasih kesempatan, saya juga butuh cari makan. Gini-gini saya dijadikan ahli oleh kejaksaan, dibayar per jam,” ujar Edison saat itu, seperti ditirukan Kukuh di depan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor, Senin, 3 Juni 2013.

Awalnya Kukuh menganggap apa yang dicetuskan Edison hanya kembangan kata belaka. Namun prasangka baiknya meleset tatkala pada Maret 2012, sebulan setelah bertemu Edison, namanya masuk sebagai salah satu tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek bioremediasi CPI. Itu pun diketahuinya dari berita di internet, tanpa ada surat penetapan dari Kejakgung.

“Saya benar-benar kaget, karena sebelumnya tidak pernah ada pemeriksaan atau dimintai keterangan. Pertama kali saya diperiksa sebagai tersangka pada 26 September 2012, dan langsung ditahan,” aku Kukuh. Saat datang memenuhi panggilan untuk diperiksa sebagai tersangka di Gedung Bundar (kantor Kejakgung), Kukuh mendapati dialog antar jaksa yang menurutnya sangat ganjil.   

“Saat itu saya bertanya kepada jaksa Amirullah kenapa saya jadi tersangka. Amirullah lalu panggil Sugeng dan bertanya, “Pak Sugeng, kenapa Kukuh dijadikan tersangka?” Sugeng kemudian malah tanya kepada saya, “Pak Kukuh bukannya Team Leader Bioremediasi?” Saya menjawab, “Bukan, saya Team Leader Produksi.” Pembicaraan tidak berlanjut dan Sugeng permisi ke ruangan lain. Setelahnya tidak ada tindak lanjut apapun baik dari Sugeng maupun Amirullah,” ungkap Kukuh.

Edison Effendi (paling kiri berjas abu-abu), seseorang yang mengaku ahli  bioremediasi dan keterangannya dijadikan rujukan oleh Kejakgung.

Edison Effendi (paling kiri berjas abu-abu) bersama para jaksa di kantor Kejaksaan Agung.

Nasib Karyawan Tak Berdosa

Meski sudah terang Kukuh bukan Team Leader Bioremediasi, pria berkacamata ini tetap ditahan sebagai tersangka oleh Kejakgung. Dua bulan lebih ia mendekam dibalik jeruji, bersama Widodo, Endah Rumbiyanti, Bachtiar Abdul Fatah, Herlan bin Ompo, dan Ricksy Prematuri. Dua yang disebutkan terakhir adalah kontraktor CPI dalam proyek bioremediasi. Satu lagi, Alexia Tirtawidjaja tidak ditahan, karena sedang berada di Amerika untuk mendampingi suaminya yang menjalani perawatan karena sakit.

Kukuh, Widodo, Bachtiar, dan Endah Rumbiyanti akhirnya menghirup udara bebas, setelah putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan penahanan mereka tidak sah. Sedangkan Herlan dan Ricksy tetap mendekam di tahanan, sampai kemudian divonis hakim pada awal Mei 2013. Belakangan Bachtiar ditangkap lagi oleh jaksa yang ngotot ia terkait dengan kasus bioremediasi. Sedangkan Alexia, sedang diupayakan oleh Kejakgung untuk diadili secara “in absentia”.  

Dalam keseluruhan persidangan, saksi ahli yang dihadirkan baik dari Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Kementerian Lingkungan Hidup, maupun ahli hukum pidana dari berbagai perguruan tinggi, menyatakan para terdakwa ini tidak berdosa. SKK Migas dan KLH bahkan berulang kali menyatakan proyek bioremediasi CPI taat hukum dan clear, tidak ada pelanggaran di dalamnya. Namun jaksa dan hakim tampak tidak bergeming.

Tak ketinggalan Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) pun turun tangan. Dari pemantauannya selama hampir setahun, dan lewat laporan setebal 400 halaman, Komisi ini menegaskan adanya pelanggaran HAM terhadap para terdakwa kasus bioremediasi. Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai menuturkan, ada empat aspek pelanggaran HAM yang dialami para terdakwa dalam penanganan kasus bioremediasi oleh Kejakgung dan Majelis Hakim Tipikor.

Pertama, terlanggarnya hak untuk mendapatkan kepastian dan perlakuan hukum yang sama. Kedua, terlanggarnya hak untuk tidak ditangkap dan ditahan dengan semena-mena. Ketiga, terlanggarnya hak untuk mendapatkan keadilan melalui proses hukum yang jujur, adil, dan berimbang. Keempat, terlanggarnya hak untuk tidak dipidana karena perjanjian perdata.

Pigai menuturkan, dalam penyelidikan Komnas HAM terungkap 11 variabel kejanggalan penanganan kasus bioremediasi oleh Kejakgung. Salah satunya adalah adanya saksi dan ahli Kejakgung bernama Edison Effendi, yang sama sekali tidak layak dijadikan rujukan untuk proses peradilan yang jujur dan obyektif. “Kami punya bukti bahwa ahli bioremediasi dari Kejaksaan Agung mempunyai konflik kepentingan yang sangat besar dalam kasus ini,” ungkap Pigai di Jakarta, Rabu, 21 Mei 2013.

Karyawan Chevron dengan setia memberikan dukungan moral di persidangan kepada rekan-rekan dan mitra kerjanya menghadapi persidangan kasus bioremediasi.

Karyawan Chevron dengan setia memberikan dukungan moral di persidangan kepada rekan-rekannya dalam persidangan kasus bioremediasi.

Masa Depan Terpasung  

Apa yang diungkapkan Pigai memang sangat beralasan. Dari keterangan terdakwa dan seluruh saksi, terasa benar keterlibatan Edison Effendi sarat akan nuansa balas dendam. Bukan hanya Kukuh yang bertutur. Beberapa karyawan CPI lainnya pun mengaku, pernah mendapat ancaman dari Edison, saat berulang kali kalah tender bioremediasi. “Awas ya, saya juga butuh makan, tapi tidak pernah dikasih kesempatan,” ungkap salah seorang sumber menirukan ucapan Edison.  

Beberapa sumber Dunia Energi juga mengungkapkan, Edison adalah sosok yang cukup dekat dengan pihak Kejakgung. “Dia punya banyak kenalan orang dalam,” tutur sumber tersebut, seraya menyebutkan, penyelidikan awal Kejakgung atas kasus bioremediasi CPI, juga berdasarkan laporan Edison Effendi. Pria bergelar doktor dan Magister of Science (MSc) ini pula yang member keyakinan awal kepada para jaksa, bahwa proyek bioremediasi CPI berpotensi merugikan keuangan negara.

Kini, nasib para karyawan CPI yang menjadi terdakwa, berada ditangan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor, yang diketuai Sudharmawati Ningsih. Apakah dengan fakta-fakta yang terungkap selama ini mereka akan dibebaskan dari tuntutan, atau divonis bersalah seperti Herlan dan Ricksy yang sudah sembilan bulan mendekam di penjara. Yang jelas, beberapa dari mereka sudah terpasung masa depannya.

Endah Rumbiyanti misalnya, gara-gara menghadapi proses hukum ini, tidak bisa ikut mendampingi dan merawat salah seorang anaknya yang sedang sakit. Ibu lima anak ini pun tidak habis pikir, mengapa ia harus ikut dijerat dalam kasus yang membingungkan itu. Ia baru kembali ke Tanah Air pada akhir 2010, dan bertugas sebagai Manajer Lingkungan CPI pada Juni 2011. Namun dimintai pertanggungjawaban pidana, atas proyek yang berlangsung sejak 2006, dimana saat itu ia sedang tugas belajar di Amerika.

“Saya diminta atasan untuk menjelaskan kepada Kejakgung, tentang apa itu bioremediasi. Saya dinilai oleh pimpinan akan bisa memberikan penjelasan yang runtut dan komprehensif, meski tidak pernah menangani proyek bioremediasi. Namun selesai memberikan penjelasan, saya langsung dinyatakan sebagai tersangka dan ditahan,” tutur Endah Rumbiyanti di hadapan hakim.

Kukuh yang terpilih sebagai Future Leader Indonesia Business Unit Chevron, dan dipromosikan untuk mengisi posisi di bagian Planning pada Chevron Energy Technology Company di Houston, Amerika Serikat, gagal berangkat. Kukuh diberi tahu akan mengisi posisi itu pada Januari 2012. Ia lantas menandatangani kesanggupan untuk menerima tugas itu pada 1 Maret 2012, dan akan berangkat pada April 2012. Langkahnya terhenti, tatkala pada pertengahan Maret 2012 ditetapkan sebagai tersangka.

Demikian pula dengan Widodo. Mengawali karirnya di CPI (saat Widodo masuk masih bernama Caltex) dengan ijazah STM (Sekolah Teknik Menengah), bapak tiga anak ini berhasil mengantongi ijazah S-1 (sarjana) Teknik Sipil pada 2001. Untuk memberikan kebanggaan pada buah hatinya, ia berjuang mengejar gelar S-2. Sejatinya, Widodo akan mengikuti ujian tesis pada Oktober 2013, namun semuanya berantakan karena ia diseret dalam kasus bioremediasi. Lantas dengan semua ini, akankah dendam Edison Effendi terbalas? Hanya Tuhan dan sang ahli bioremediasi yang tahu jawabnya.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)