JAKARTA – Konversi batu bara menjadi syngas yang merupakan bahan baku untuk diproses lebih lanjut menjadi dimethyl ether (DME) sebagai bahan bakar, urea sebagai pupuk, dan polypropylene sebagai bahan baku plastik, dinilai perlu mendapatkan dukungan insentif fiskal dan non fiskal . Dalam hal ini, batu bara akan diubah melalui teknologi gasifikasi menjadi produk akhir yang memiliki nilai jual lebih tinggi.

“Hingga saat ini dirasakan masih belum ekonomis. Oleh karena itu perlu insentif fiskal dan dukungan, baik dari sisi perizinan agar bisa menarik investasi,” kata Hendra Sinadia, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI), kepada Dunia Energi Selasa (12/2).

PT Bukit Asam Tbk (PTBA) telah menandatangani Head Of Agreement (HoA) hilirisasi batu bara dengan PT Pertamina (Persero), PT Pupuk Indonesia (Persero), dan PT Chandra Asri Petrochemical Tbk, akhir tahun lalu. Penandatanganan tersebut akan ditindaklanjuti dengan pembangunan pabrik pengolahan gasifikasi batu bara yang direncanakan mulai beroperasi pada November 2022.

Nantinya, pabrik pengolahan gasifikasi batu bara akan dibangun di Bukit Asam Coal Based Industrial Estate (BACBIE) yang berada di mulut tambang batu bara Tanjung Enim, Sumatera Selatan. BACBIE akan berada pada satu lokasi yang sama dengan PLTU Mulut Tambang Sumsel 8.

Diharapkan produksi dapat memenuhi kebutuhan pasar sebesar 500 ribu ton urea per tahun, 400 ribu ton DME per tahun dan 450 ribu ton polypropylene per tahun. Dengan target pemenuhan kebutuhan sebesar itu, diperkirakan kebutuhan batu bara sebagai bahan baku sebesar sembilan juta ton per tahun, termasuk untuk mendukung kebutuhan batu bara bagi pembangkit listriknya.

Abadi Purnomo, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), mengatakan apabila proyek hilirisasi batu bara berjalan sesuai rencana maka diharapkan dapat mengurangi impor liquified natural gas (LPG/elpiji). Melalui teknologi gasifikasi batu bara diolah menjadi syngas untuk kemudian diproses menjadi DME. DME inilah yang akan digunakan sebagai pengganti elpiji.

“LPG 80% kita impor. Pilihannya ada dua, diganti dengan DME, mix together jangan diganti total, dicampur sekitar 20-25%. Kemudian kedua, untuk yang di rumah tangga atau apartemen seharusnya pakai kompor listrik. Kalau dengan kompor listrik, maka listriknya terserap dan elpiji berkurang,” kata Abadi kepada Dunia Energi, belum lama ini.

Dia menambahkan, saat ini memang proyek gasifikasi batu bara belum memenuhi keekonomian. Oleh karenanya, diperlukan insentif fiskal dan non fiskal untuk menarik investor.

“Untuk membangun pabriknya dibutuhkan waktu dua tahun, investasi lumayan besar sekitar Rp 3 triliun. Aturannya belum ada, akan kami bawa ke sidang paripurna dengan pemerintah supaya ada kebijakan fiskal dan nonfiskal,” tandas Abadi.(RA)