BERAU – Indonesia berpotensi besar menjadi surga coklat dunia. Tanaman kakao sebagai bahan dasar coklat tumbuh subur di tanah air dan kualitasnya juga diakui masyarakat dunia. Salah satu wilayah yang memyimpan potensi besar coklat atau tanaman kakao adalah di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.

Di ujung timur Kalimantan itu, terdapat satu kampung yang jadi permata dalam industri coklat. Di sana tumbuh kakao dengan subur dengan kualitas no wahid bahkan jadi salah satu yang terbaik di dunia.

Saenudin (54) selalu sumringah jika menceritakan segala sesuatu tentang cacao. Hidupnya berubah drastis sejak tahun 2016 saat dia memutuskan hijrah dari kampung halamam di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Sempat tertatih – tatih merintis perkebunan sayur mayur, aknirnya dia menemukan pintu rejeki melalui tanaman kakao.

Kalimantan dikenal sebagai salah satu produsen utama kelapa sawit dunia, tapi dibalik masifnya pertumbuhan industri kelapa sawit, tanaman kakao memiliki tempat khusus.

Saenudin menceritakan tidak terlalu sulit menjadi petani kakao. Setelah mendapatkan bibit hanya tinggal menanam dan pekerjaan selanjutnya adalah berpacu dengan ancaman hama seperti tupai. Cukup melakukan pengawasan beberapa jam setiap hari seperti pemangkasan daun agar tidak menutupi sinar matahari. Pemberian pupuk juga dilakukan diawal penanaman, kemudian secara berkala memberikan cairan anti hama. Biji kakao juga bisa dipanen setelah 2-3 tahun setelah ditanam setiap pekan dan terus bertahan selama bertahun.

Saenudin sendiri sudah memiliki memikiki 625 pohon cocoa di area seluas hampir 1 hektar (ha) setiap minggu kini dia bisa memanen biji kakao basah mencapai 100-120 kilogram (kg) dengan harga Rp14.000 per kg.

Jadi setiap minggunya dia bisa mengantongi pemasukan minimal Rp1,4 juta atau sekitar Rp6 juta per bulan dan Rp 72 juta per tahun. Itu adalah pemasukan rata-rata minimal seorang petani kakao dengan lahan sekitar 1ha. Untuk seorang petani sebenarnya sudah bisa mengelola kebun kakao seluas 2 ha. Jadi bisa dibayangkan pemasukan petani cacao.

Menjadi seorang petani kakao juga tidak memerlukan biaya besar. Untuk perawatan dalam satu tahun hanya butuh biaya sekitar Rp 3 juta – Rp 4 juta. “Kalau istri mau, bisa ikut petik yang sudah matang pagi -pagi, siang sudah pulang,” kata Saenudin sambil tersenyum.

Biji Kakao hasil olahan Berau Cocoa (Foto/Dok/Dunia Energi – Rio Indrawan)

Dia semakin bersemangat ketika menginggung campur tangan PT Berau Coal dalam pengelolaan kakao. Paling signifikan adalah sudah tidak bergantung lagi para petani dengan tengkulak atau pengepul biji kakao. PT Berau Coal menggandeng para petani dengan menjadi penampung biji kakao. Perusahaan juga sedang mengembangkan ekosistem industri kakao mulai dari hulu hingga ke hilir. Sebelum Berau Coal hadir para petani hanya bisa menjual biji kakao kering atau setelah difermentasi seharga Rp 20 ribu per kg.

Di sisi hulu selain menampung biji kakao dari petani seperti Saenudin, manajemen Berau juga membagikan pupuk anti hama serta bibit cacao yang sudah tersertifikasi dan melalui rekayasa genetik sehingga diakui secara internasional memiliki kualitas biji kakao terbaik.

Berau Coal memang tidak mau setengah-setengah mendorong potensi tumbuhan kakao di Berau. Manajemen memiliki pusat pengolahan berau terintegrasi dengan kapasitas pabrik mencapai 800 ton untuk mengolah biji kakao dari petani hingga ke produk jadinya berupa coklat yang dipasok ke berbagai bran-brand ternama coklat nasional maupun internasional.

Yandi Rama Krisna Social Enterprise Coordinator Berau Coal, menjelaskan biji kakao yang didapatkan dari petani difermentasi sebelum dijemur. Kapasitas fasilitas fermentasi yang dimiliki oleh Berau Cocoa perusahaan yang dibentuk Berau Coal mencapai 2 ton. “Awalnya 7 hari (fermentasi), kita improve sampai 4 hari, kapasitas 2 ton,” kata Yandi.

Setelah difermentasi biji kemudian melalui proses pengeringan. Ini pun dilakukan dengan fasilitas khusus yang dilengkapi dengan inovasi teknologi yang dikembangkan Berau Cacao sehingga mampu meningkatkan efisiensi waktu dalam proses pengeringan dan berdampak pada produktifitas dan terjaganya kualitas biji kakao.

Tahun ini Berau Cocoa mampu memproduksi biji kakao yang siap diolah jadi coklat mencapai 40 ton dan ditargetkan bisa meningkat menjadi 64 ton. Manajemen berencana meningkatkan produksi hingga 10 kali lipat hingga tahun 2026 melalui penambahan lahan kebun kakao seluas 200 ha. Nantinya penambahan lahan akan memanfaatkan lahan di wilayah konsesi.

Hasil produk olahan kakao (Foto/Dok/Dunia Energi)

“80% lahan berau 20% lahan masyarakat karena kita punya 2.000 hektar lahan yg bisa ditanamin kakao. yang masih original tidak masuk dalam tambang. Jadi kita tanam kakao semuanya. Kami open terhadap semua masyarakat yang mau jadi petani. nah kita kekurangan petani (kakao) di Berau,” jelas Yandi.

Jika lahan sudah bertambah maka biji kakao yang bisa dipasok Berau Cocoa ke industri coklat juga semakin besar. “Taget kita 3.000 hektar lahan baru di 2028. Lima tahun dari sekarang. Kalau standar 1 ton per hektar per tahun nah itu 3.000 ton,” jelas Yandi.

Selain dipasok ke industri kakao hasil dari pengolahan biji kakao juga dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar operasi jadi bagian dari warga binaan Berau Coal yang dikoordinasikan produk dan pemasarannya di Rumah Kemas Batiwakkal. “Di sini ada 55 UMKM yang pasarkan produknya, sebagian memang berbahan kakao. Tapi ada juga dari bahan lain,” ungkap Yandi. (RI)