JAKARTA – Anomali tidak biasa terjadi dalam neraca gas Indonesia. Untuk tahun 2023 misalnya, volume konsumsi gas dalam negeri adalah sekitar 68% dari total produksi gas nasional. Sekitar 32% produksi gas sisanya dialokasikan untuk kepentingan ekspor. Dengan kondisi itu tetap saja ada wilayah yang mengalami kekurangan pasokan gas dengan jumlah yang cukup signifikan.

Berdasarkan data Neraca Gas Indonesia 2022-2030, wilayah Sumatera Bagian Tengah dan Selatan, Kepri & Jawa Bagian Barat, dan Jawa Bagian Tengah dan Timur diproyeksikan akan tetap mengalami defisit pasokan gas meskipun nantinya terdapat tambahan produksi gas dari project dan potential supply. Sementara, wilayah Kalimantan & Bali, Maluku, Papua, dan Sulawesi juga diproyeksikan akan mengalami defisit pasokan jika hanya mengandalkan produksi gas eksisting.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, menjelaskan kondisi anomali neraca gas Indonesia disebabkan oleh beberapa hal, pertama adalah sebaran lokasi produsen dan konsumen gas yang tidak sama, selanjutnya kondisi geografis Indonesia. Kemudian infrastruktur transmisidan distribusi gas masih relatif terbatas. Selain itu adanya penurunan kemampuan produksi lapangan-lapangan gas di wilayah tertentu.

Menurut dia, LNG memang bisa menjadi solusi atasi permasalahan anomali neraca gas ini. Namun itu hanya untuk mengatasi dalam jangka pendek serta yang harus diingat harga gas LNG dipastikan lebih mahal ketimbang harga gas pipa karena jika menggunakan harga gas LNG harus melalui proses regasifikasi yang memerlukan biaya. Jika yang dikejar bukan hanya ketersediaan pasokan tapi juga harga gas yang terjangkau tentu menggunakan gas LNG tidak bisa mengatasi masalah anomali neraca gas dalam jangka panjang.

Berdasarkan data, perbedaan harga gas yang harus dibayar oleh konsumen akhir yang menggunakan sumber gas pipa dengan sumber gas berbasis LNG adalah antara US$4-5 per MMBTU. “Dengan konsumsi LNG sebesar 568,27 BBTUD pada tahun 2023 tersebut, maka diperlukan tambahan biaya pengadaan gas antara US$830 juta – US$1,04 miliar atau setara dengan Rp 13,27 triliun – Rp 16,59 triliun per tahun untuk menggantikan pasokan gas pipa yang menurun,” jelas Komaidi dalam keterangannya, Senin (27/5).

Kunci untuk bisa mengatasi permasalahan ini adalah pembangunan dan penambahan infrastruktur. Tapi itu bukan jalan yang mudah karena dibutuhkan waktu juga biaya yang besar. Jika dibandingkan dengan sejumlah negara di Asia Tenggara, pengembangan infrastruktur gas di
Indonesia relatif tertinggal. Merujuk data Kementerian ESDM, realisasi penyediaan infrastruktur gas dan LNG nasional yang ditetapkan melalui Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional (RIJTDGBN) 2022-2031 belum berjalan optimal. Dari sejumlah infrastruktur yang direncanakan di dalam RIJTDGBN 2022 – 2031 tersebut, saat ini relatif hanya proyek Jaringan Pipa Gas Cirebon – Semarang Fase I yang telah berjalan sesuai rencana.

Sambil menunggu pembangunan terus dilakukan oleh pemerintah maka cara lainnya adalah dengan integrasi dan agregasi infrastruktur gas eksisting.

Menurut Komaidi, pada kondisi kemampuan produksi gas di sejumlah wilayah yang mulai menurun, perlu dilakukan penyesuaian strategi pengembangan infrastruktur gas dari fragmented pipeline network menjadi integrated pipeline network. Dalam kajian yang dilakukan Reforminer, terungkap jika integrasi infrastruktur pipa gas eksisting dapat dilakukan dapat berpeluang meningkatkan utilisasi gas bumi sekitar 15%.

“Sementara jika integrasi infrastruktur gas juga dilakukan sampai dengan sumur-sumur gas yang baru, serta industri kilang dan petrokimia,berpotensi meningkatkan utilisasi gas bumi hingga sekitar 48%,” ujar Komaidi.

Dalam kajiannya, Komaidi menuturkan kebijakan harga gas dan pengembalian investasi yang wajar menjadi kunci keberhasilan dalam pengembangan infrastruktur gas di sejumlah negara. Sebagai contoh Malaysia yang mengimplementasikan Malaysia Reference Price (MRP), Thailand melalui Energy Policy and Planning Office (EPPO) menetapkan margin usaha gas, dan Vietnam melalui PetroVietnam Gas menggunakan
mekanisme pasar sebagai basis untuk menentukan harga gas domestiknya.

“Persamaan dari ketiga negara tersebut adalah pemberlakuan kebijakan untuk industri gas yang mereka terapkan didasarkan atas pertimbangan margin dan pengembalian investasi yang wajar,” kata Komaidi.

Menurutnya dengan adanya kenyataan seperti itu maka dari aspek ketersediaan availability) pemanfaatan LNG dapat menjadi solusi untuk menyelesaikan permasalahan defisit pasokan gas pada sejumlah wilayah di Indonesia.

“Akan tetapi, jika aspek keterjangkauan (affordability) juga menjadi prioritas maka penyediaan dan pembangunan termasuk di dalamnya melakukan
integrasi dan agregasi infrastruktur gas merupakan sebuah keharusan,” tegas Komaidi. (RI)