JAKARTA– Kontribusi pembangkit listrik tenaga air (PLTA) sangat signifikan dalam bauran kapasitas terpasang energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia. Hingga semester I 2023, berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dari total kapsaitas terpasang Pembangkit berbasis EBT sebesar 12,7 gigawatt (GW) atau 15% dari total pembangkit yang beroperasi secara nasional, 6,7 GW berasal dari PLTA. Sisanya adalah pembangkit biomassa 3,8 GW, pembangkit panas bumi 2,3 GW, pembangkit listrik tenaga surya 322 MW, pembangkit tenaga angin 154 MW, dan pembangkit gasifikasi batu bara sebesar 30 MW.

Pengembangan PLTA bisa lebih optimal karena Indonesia memiliki sumber energi terbarukan berupa sumber air yang melimpah, namun pemanfaatnya masih minim sebagai PLTA. Potensi hidro untuk PLTA mencapai 95 GW, lebih rendah dibandingkan potensi surya sebagai sumber pembangkit yang mencapai 3.294 GW, namun lebih tinggi dari potensi bioenergi sebesar 57 GW, potensi bayu 155 GW, dan potensi panas bumi 23 GW dan potensi laut 63 GW.

Iwa Garniwa, Rektor Institut Teknologi PLN, mengatakan banyak keuntungan dari pengembangan PLTA di Tanah Air. Selain biaya perawatan murah karena penggantian suku cadangan tidak terlalu sering, umur gua dari PLT juga sangat panjang. “Tepatnya hingga 100 tahun atau satu abad,” ujar Iwa saat berbicara pada simposium bertajuk Peluang dan Tantangan Pembangkit Listrik Tenaga Air di Indonesia yang diselenggarakan oleh Sekolah Ilmu Lingkungan (SIL) Universitas Indonesia bekerja sama dengan Environment Institute, APIK Indonesia Network, dan Iluni SIL UI yang diselenggarakan secara hybrid di Lantai 5 Gedung IASTH UI, Salemba, Kamis (23/11/2023).

Iwa mengungkapkan, selain untuk membangkitkan listrik, air dalam PLTA bisa digunakan untuk pengairan sawah atau irigasi dan juga sebagai cadangan air di wilayah tersebut. Selain itu, lanjut guru besar teknik elektro Fakultas Teknik Universitas Indonesia ini, bentuk dari PLTA yang indah bisa menciptakan daya tarik wisata. “Respons PLTA dapat menyesuaikan dengan beban yang dibutuhkan dan responnya pun cepat,” ujar Iwa.

Tak hanya itu, menurut Iwa, sisi positif PLTA merupakan energi yang ramah lingkungan, bebas dari karbon emisi, dan tidak menyebabkan polusi yang berakibat efek rumah kaca.

Di sisi lain, lanjut Iwa, pengembangan PLTA juga ada kekurangannya. Dia menyebutkan kekurangan PLTA salah satunya adalah pengembangan PLTA membutuhkan investasi yang besar. Lahan yang digunakan untuk pengembangan PLTA pun cukup luas untuk pusat listrik dengan kapasitas listrik yang besar. “Dengan adanya pembuatan bendungan air untuk PLTA, dapat mengakibatkan ekosistem sungai atau danau pada tempat tersebut terganggu,” katanya.

Menurut dia, pemanfaatan EBT seperti PLTA untuk menciptakan pertumbuhan industri (create demand) sebagai upaya menghasilkan produk global dengan skema Renewable Energy Based Industrial Development (REBID) patut diapresiasi. Pasalnya, pengembangan potensi PLTA bersama dengan Pembangkit Listrik Panas Bumi skala besar terintregrasi dnegan pengembangan indistri. “Di sana ada sinergitas pengengambangan EBT dengan pengembangan klaster ekonomi,” katanya.

Potensi pengembangan REBID PLTA antara lain PLTA Kayan berkapasitas 9.000 MW untuk industri manufaktur. Saat ini persiapan konstruksi. Selain itu, PLTA Mentarang berkapasitas 1.375 MW untuk industri smelter dengan status uji kelayakan dan perizinan. “Dalam perencanaan adalah PLTA Sembakung berkapasitas 250 MW dan PLTA Bahaa berkapasitas 1.300 MW,” ujarnya.

Di luar itu, lanjut Iwa, ada rencana kerja sama dengan Austrailia untuk pengembangan PLTA Mahakam dan Keai berkapasitas 2.500 MW untuk pabrik pemurnian dan pengolahan (smelter) dan PLTA Mamberamo berkapasitas 20.00 MW, juga untuk smelte r.

Ahyahudin Sodri, Ketua Klaster Riset Inovasi Hijau, Produksi–Konsumsi Berkelanjutan dan Energi Terbarukan SIL UI, mengakui salah satu tantangan pengembangan PLTA di Indonesia adalah investasi yang tinggi, perizinan yang kompleks dan lama, kebutuhan lahan yang besar, dan kualitas sumber air yang belum mencukupi. “Tantangan berikutnyada adalah adanya resistensi dan konflik sosial pada pembangunan PLTA di beberapa lokasi,” katanya  saat memberikan sambutan pada simposium.

Menurut Ahya, Indonesia sebenarnya memiliki beragam potensi sumber energi terbarukan yang berlimpah, salahs atunya adalah energi air, namun pemanfaatannya masih sedikit. Tingkat pemanfaatan sumber air yang rendah tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara dengan urutan kelima di Asia Tenggara. “Posisi Indonesia lebih rendah dari Brunei Darussalam yang mencapai 38 GW, Vietnam 18 GW, dan Malaysia 6,24 GW,” ujar Ahya.

Mengutip Hydropower Situs Report 2022 yang diterbitkan oleh International Hydropower Association, kapsaitas terpasang PLTA di dunia pada 2021 mencapai 1.360 GW dan diproyeksikan meningkat. Ahya menyebutkan, kontribusi PLTA terhadap bauran energi listrik di dunia berada di peringkat ketiga setelah PLTU dan PLTGU.

Tri Edhi Soesilo, Direktur SIL UI, dalam sambutannya ketika membuka simposium, mengatakan transisi energi dari energi fosil ke EBT memerlukan biaya investasi yang cukup mahal. Itu sebabnya, perencanaan dan pembangunan yang dilakukan perlu dilakukan secara berhati-hati Akselerasi peralihan energi dapat memberikan tekanan pada ekosistem sehingga perlu dipertimbangkan dan direncanakan secara matang agar upaya perlindungan pada lingkungan tetap menjadi perhatian utama. (DR)