JAKARTA – Pemerintah menegaskan tidak akan tergesa-gesa merespon peningkatan eskalasi di wilayah timur tengah menyusul saling serang antara Iran dan Israel. Untuk itu tidak ada kenaikan harga BBM dalam waktu dekat sebagai respon melonjaknya harga minyak dunia.

Tutuka Ariadji, Dirjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menjelaskan pemerintah bahkan belum membahas penyesuaian harga BBM merespon perang di timur tengah. Dia menuturkan pemerintah memprediksi pergerakan harga minyak dunia masih berfluktuatif.

“Dalam hal preparasi kemungkinan terburuk kita lakukan (penyesuaian harga) tapi kalau dalam hal kebijakan menurut saya ya jangan cepat-cepat karena saat ini kami harapkan spike dan tidak perlu direspon segera,” kata Tutuka ditemui di Kementerian ESDM, Selasa (16/4).

Pemerintah sendiri meprediksi harga minyak dunia bisa tembus US$100an per barel dalam waktu dekat, apalagi jika ketegangan terus berlanjut atau meningkat.

“Kalau menurut pendapat kami US$5-US$10 per barel, jadi kalau sekarang kan US$90an jadi kalau menurut kami memang untuk naik mendekati US$100an kayaknya bisa terjadi,” ungkap Tutuka.

Seperti diketahui, Indonesia boleh jadi negara yang bakal terdampak cukup besar jika perang skala besar benar-benar terjadi di timur tengah. Pasalnya pasokan energi Indonesia seperti minyak mentah, BBM ataupun LPG berasal dari timur tengah.

Kenaikan harga minyak dunia memang akan berpotensi besar terhadap kenaikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor hulu migas. Tapi yang harus diingat, Indonesia merupakan negara importir minyak mentah maupun BBM, sehingga peningkatan harga minyak ini tentu bakal berdampak pula terhadap biaya yang harus dikeluarkan pemerintah untuk impor BBM, minyak mentah maupun LPG.

“PNBP-nya naik, tapi subsidinya lebih besar dari itu, subsidi LPG itu besar, jadi lebih besar kenaikan untuk nambah subsidi dibandingkan dengan PNBP,” jelas Tutuka. (RI)