JAKARTA – Industri hulu migas dihadapkan pada tantangan yang tidak mudah selain harus memenuhi kebutuhan energi yang semakin meningkat, para pelaku usaha juga diminta untuk menekan emisi karbon yang dihasilkan dari kegiatan operasi produksi.

Nicke Widyawati, Direktur Utama PT Pertamina (Persero), menjelaskan sebagai perusahaan milik negara, Pertamina diamanatkan untuk bisa memenuhi kebutuhan energi. Bahkan Pertamina menganggarkan lebih dari 62% Capital Expenditure (Capex) untuk program pemenuhan kebutuhan energi.

“Kita mau meningkatkan produksi, dng kondisi saat ini tapi takes time, tapi tetap kamu coba dengan menganggarkan capex 62% untuk bisa memnuhi kebutuhan energi. 15% untuk low karbon business kita support target pemerintah, kita ada alokasi besar CCS, bioenergi,” ujar Nicke disela diskusi Plenary Session: CEO Forum dengan tema Company Strategy Pursuing High Return of Investment and Helping Society Meet NZE pada IPA Convex 2024 di ICE BSD, Tangerang, Selasa (14/5).

Namun, menurut Nicke, sebagai badan usaha, Pertamina juga dituntut menghasilkan profit atau keuntungan. Selain itu, dorongan untuk berkontribusi dalam upaya mencapai target mengejar Net Zero Emissions (NZE) juga tidak boleh dilupakan.

Salah satu langkah Pertamina, kata Nicke, untuk mengejar peningkatan produksi sekaligus menekan emisi karbon adalah dengan menginisiasi penerapan teknologi CCS/CCUS.

“Kami juga memprioritaskan CCS/CCUS, dengan storage potensial ada 16 proyek CCS/CCUS berjalan, 11-nya digarap Pertamina. Kami Targetkan injeksikan CO2 di CCS block dengan volume 7,000 ton pada tahun 2030,” kata Nicke.

Tan Sri Tengku Muhammad Taufik, President and Group CEO PETRONAS, menjelaskan apa yang dihadapi oleh Pertamina dihadapi juga oleh Petronas. Jalan terbaik untuk menghadapi tantangan tersebut adalah dengan melakukan kolaborasi. Petronas telah menginisiasi kolaborasi dan kemitraan di 20 negara, termasuk Indonesia. Kebutuhan untuk berkolaborasi semakin besar dengan adanya proyeksi kebutuhan investasi yang tidak sedikit dalam upaya menjalankan transisi energi.

“Transisi energi butuh modal sangat besar sekitar US$ 2 triliun. Kita harus berkolaborasi. Waktu untuk berkompetisi sudah selesai. Tidak ada perusahaan atau negara manapun bisa lakukan ini sendiri. Harus ada kolaborasi,” ungkap Taufik.

Roberto Lorato, CEO MedcoEnergi, mengakui kompleksitas yang dihadapi oleh perusahaan energi terutama di sektor hulu migas memang sangat tinggi. Apalagi adanya amanat untuk mengimplementasikan transisi energi serta dekarbonisasi. Untuk itu komitmen untuk menerapkan ESG dalam perusahaan jadi kunci.

Medco akan terus melanjutkan program yang fokus dalam transisi energi melalui dekarbonisasi operasi melalui ekspansi bisnis gas, EBT seperti panas bumi dan melalui proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).

“Kompleksitas memang tinggi. Transisi energi ini fundamental yang harus dikejar, tapi memang butuh dana besar serta teknologi. Kita mantain semuanya dengan komitmen ESG,” kata Roberto. (RI)