JAKARTA – Pemerintah masih berharap produksi emas nasional bisa mendekati 100 ton sepanjang 2020, meski hingga lima bulan pertama baru terealisasi 9,98 ton. Anjloknya produksi emas PT Freeport Indonesia dari tambang Grasberg menjadi penyebab minimnya produksi emas nasional.  Merujuk realisasi hingga Mei, produksi emas tahun ini berpotensi menjadi yang terendah dalam lima tahun terakhir. Produksi emas pada 2015-2019 tercatat berturut-berturut 97,44 ton; 91.08 ton; 101,52 ton; 135,25 ton dan 109,02 ton.

Irwandy Arif, Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan, rata-rata produksi emas nasional per tahun sekitar 100 ton. Dari total produksi tersebut, sekitar 80 persen dikontribusikan oleh Freeport. Sisanya berasal dari sekitar 20-an perusahaan tambang emas lain.

“Freeport belum bisa normal sampai akhir tahun, tentu hal ini akan berdampak pada produksi emas nasional, tapi saya kia tidak jauh dari 100 ton,” kata Irwandy saat webinar bertema “Mining Companies Amid Pandemic: Government Policy, What to Do Now and Next”, pekan lalu.

Saat ini Freeport dalam masa transisi dari tambang terbuka (open pit) ke tambang bawah tanah (underground). Freeport McMoRan Inc menyebutkan sepanjang kuartal I 2020, realisasi penjualan emas turun 40,85% menjadi 139 ribu ounces dibanding periode yang sama 2019 sebesar 235 ribu ounces.

Penurunan produksi juga dialami PT Agincourt Resources, anak usaha PT United Tractors Tbk (UNTR). Agincourt hingga April 2020 telah memproduksi 113 ribu ounces setara emas, turun dibanding periode Januari-April tahun lalu sebesar 133 ribu ounces setara emas. Berdasarkan laporan operasional United Trators per April 2020, produksi emas Agincourt mencapai level tertinggi pada Januari yakni 36 ribu ounces setara emas. Untuk produksi terendah tercatat pada periode April sebesar 18 ribu ounces setara emas. Produksi emas Agincourt berasal dari tiga pit eksisting, yakni Purnama, Ramba Joring dan Barani di Tambang Emas Martabe, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.

Menurut Irwandi, kondisi sektor minerba akibat Covid-19 sampai April 2020 masih tumbuh. Namun yang perlu dikhawatirkan adalah pada Mei sampai akhir tahun 2020. Pasalnya, berbagai aktivitas masyarakat, termasuk industri pertambangan mulai terdampak Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sejak ditemukannya kasus positif Corona pertama pada Maret 2020.

“Sejak Mei sampai akhir 2020 penurunan yang terjadi sekitar 20% baik dari segi produksi maupun pendapatan. Ini sudah diprediksi bersama baik oleh Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan,” kata dia.

Pandemi Covid-19 juga ikut berpengaruh terhadap harga komoditas mineral juga mengalami penurunan, kecuali emas. “Emas terus naik, sekarang mencapai US$ 1.800 per troy ounce. Ini satu-satunya komoditas yang tidak alami penurunan harga,” kata Irwandi.

Kontribusi sektor pertambangan pada penerimaan pajak di 2019 mencapai Rp 66,1 triliun atau 5,3 persen dari total penerimaan. Sementara dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mencapai Rp 45 trilun. Adapun produk domestik bruto (PDB) sektor pertambangan 2019 terhadap total PDB nasional mencapai 4,7%.(AT)