JAKARTA – Delapan tahun waktu yang sudah diberikan pemerintah untuk peningkatan nilai tambah (hilirisasi) mineral seharusnya sudah lebih dari cukup untuk menjalankan kewajiban hilirisasi. Sayang, meski telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batu bara (UU Minerba) dan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 1 Tahun 2014 tentang peningkatan nilai tambah mineral melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral, hilirisasi tidak berjalan maksimal.

“Masalahnya, konsistensi kebijakan hilirisasi. Pemerintah tidak maksimal dalam pembinaan dan pengawasan hilirisasi,” kata Ahmad Redi, Pengamat Hukum Pertambangan Universitas Tarumanegara.

Ahmad Redi mengatakan, dalam hal ini pemerintah juga tidak memberikanfasilitas berupa insentif yang optimal bagi pelaku usaha tambang. Di sisi lain, itikad baik tidak ditunjukkan oleh para pelaku usaha dalam melaksanakan peraturan perundangan.

Pemerintah diketahui mulai memberikan relaksasi kebijakan hilirisasi denganmenerbitkan Permen ESDM Nomor 20 tahun 2013 yang memberikan waktu bagi Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk melakukan ekspor mineral mentah secarabersyarat hingga 12 Januari 2014.

Selanjutnya, pemerintah juga menerbitkan Permen ESDM 1/ 2014 yang memberikan ruang bagi perusahaan, khususnyapemegang Kontrak Karya, untuk melakukan ekspor konsentrat mineral secarabersyarat hingga Januari 2017.

Pemerintah juga menerbitkan Permen ESDM Nomor 5 tahun 2016 tentang TataCara Dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral KeLuar Negeri Hasil Pengolahan Dan Pemurnian yang memberikan kemudahan bagipemegang kontrak karya untuk ekspor konsentrat meskipun syarat dalam aturan sebelumnya, yaitu Permen ESDM 11/2014, tidak terpenuhi.

“Peningkatan nilai tambah produk mineral merupakan harga mati bagikepentingan nasional untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,” tandas Ahmad.(RA)