NEW YORK– Harga minyak mentah dunia melonjak pada akhir perdagangan Rabu atau Kamis (27/12) pagi WIB. Ini adalah kenaikan harian terkuat dalam lebih dari dua tahun, sekaligus berbalik dari penurunan tajam yang menekan minyak mentah ke posisi terendah sejak 2017.

Minyak mentah AS dan Brent naik sekitar 8,% kenaikan satu hari terbesar sejak 30 November 2016, ketika Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) menandatangani perjanjian penting untuk memangkas produksi.

Minyak mentah AS, West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Januari, menetap di US$46,22 per barel, naik US$3,69, atau 8,7%. Sekalipun dengan kenaikan hari itu, minyak mentah AS masih kehilangan hampir 40% dari penutupan tertinggi Oktober di lebih posisi lebih dari US$76 per barel.

Sementara itu, patokan internasional, minyak mentah Brent untuk pengiriman Januari, naik US$4,0 atau 8,0%, menjadi US$54,47 per barel. Brent sebelumnya jatuh ke posisi US$49,93, terendah sejak Juli 2017.

Belum jelas apakah pembelian lebih lanjut akan mendorong harga lebih tinggi lagi, setelah meja-meja perdagangan dipenuhi lebih banyak staf setelah tahun baru dimulai.

Minyak mentah telah terperangkap dalam pelemahan pasar yang lebih luas karena penutupan (shutdown) pemerintah AS, tingkat suku bunga AS yang lebih tinggi, dan perselisihan perdagangan AS-China mencemaskan para para investor dan memperburuk kekhawatiran atas pertumbuhan global.

“Pasar masih benar-benar mengkhawatirkan permintaan,” kata Wakil Presiden Intelijen Pasar di DrillingInfo, Bernadette Johnson, di Denver, seperti dikutip Reuters yang dilansir antaranews.com. Aksi jual “tidak menandakan kekuatan kepercayaan dalam permintaan, tapi kami masih berjalan terlalu cepat. Kami masih percaya US$45 terlalu rendah.”

Penjualan baru-baru ini “terasa kurang didorong secara fundamental dan lebih merupakan fungsi dari krisis pasar secara keseluruhan karena meningkatnya volatilitas ekuitas dan meningkatnya kekhawatiran makro telah membebani sejumlah kelas-kelas aset,” tulis analis di Tudor, Pickering & Holt.

Dana-dana telah mengalami kerugian besar di pasar minyak tahun ini, dengan rata-rata adviser fund perdagangan komoditas, atau CTA, turun sebesar 7,1% pada tahun ini hingga pertengahan Desember, menurut data Credit Suisse.

Kepala perusahaan minyak Rusia Rosneft, Igor Sechin, memprediksi harga minyak mencapai kisaran US$50 hingga US$53 pada 2019, jauh dari tertinggi empat tahun di US$86 untuk minyak mentah Brent yang dicapai awal tahun ini.

Meski demikian, prospek minyak tidak selemah pada 2016 ketika kelebihan pasokan meningkat karena OPEC kali ini mencoba menopang pasar, kata Jakob.

OPEC dan sekutu-sekutunya termasuk Rusia memutuskan awal bulan ini untuk memangkas produksi pada 2019, membatalkan keputusan Juni untuk memompa lebih banyak minyak. Grup gabungan berencana untuk menurunkan produksi sebesar 1,2 juta barel per hari pada tahun depan. (RA)