JAKARTA – Upaya untuk memproduksi methanol dari batu bara dinilai bakal sulit terealisasi. Hal ini karena mengubah batu bara menjadi methanol sebagai produk turunan masih jauh dari nilai keekonomian. Disan Budi Santoso, Direktur Eksekutif Centre for Indonesian Resources Strategic Studies, mengatakan secara substansi langkah pemerintah yang mendorong peningkatan hilirisasi dengan mengubah batu bara menjadi methanol patut diapresiasi. Namun dari sisi keekonomian masih diragukan bisa tercapai.

“Kalau ujungnya masih untuk energi, saya tidak optimistis karena banyak cara produk methanol yang lebih murah dari batu bara,” kata Disan kepada Dunia Energi, Senin (23/3).

Menurut Disan, pemerintah tidak perlu seolah-olah lebih inovatif tentang batu bara menjadi bentuk energi final yang lain (ethanol, DME) karena itu sudah dibahas 10-15 tahun lalu. Bahkan saat batu bara masih murah pun tetap belum ekonomis.

Disan menilai, realitas yang ada di depan mata adalah pemerintah butuh energi untuk rakyat yang murah dan terjangkau dan bisa mengurangi subsidi. Serta bisa hemat devisa. Salah satu yang bisa dikembangkan adalah briket batu bara atau langsung dipakai untuk industri kecil dan menengah.

“Saya lebih curiga DME dan methanol itu hanya dipakai alasan supaya PKP2B bisa diperpanjang,” ujar Budi.

Perjanjian kerja sama (Offtake Agreement) telah ditandatangani antara PT Pertamina (Persero) dan PT Bukit Asam (PTBA). Nantinya Pertamina akan membeli methanol yang dihasilkan Bukit Asam atas pengolahan pabrik hilirisasi batu bara (Coal to Methanol) di Tanjung Enim dengan volume satu juta ton methanol per tahun.

Erick Thohir, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sebelumnya mengatakan sudah seharusnya bangsa Indonesia mengubah pola pikir. Tidak hanya sekadar ekspor barang mentah. Indonesia harus mempunyai terobosan dalam mengelola komoditasnya sendiri untuk dijadikan sumber energi alternatif.

“Pengembangan ini sangat baik bagi potensi ketahanan energi ke depan. Batu bara yang selama ini merupakan komoditas mentah bisa diolah menjadi produk dalam hal ini methanol. Jadi dari orientasinya proyek menjadi produk,” kata Erick.

Pemerintah mengklaim kerja sama yang melibatkan Bukit Asam dan Pertamina akan secara mutualisme menghasilkan keuntungan bagi kedua BUMN. Bukit Asam selaku penyedia sumber batu bara akan diserap produksinya oleh Pertamina. Sedangkan Pertamina akan mendapatkan komoditas energi alternatif gasoline A20, yang merupakan ekuivalen dari Diesel B20. Pertamina dan Bukti Asam pun sedang menyelesaikan finalisasi dari harga penjualan dan pembelian batu bara yang disepakati.

Bukti Asam akan menyuplai volume batu bara kepada Pertamina dengan harga yang telah disepakati. Sebaliknya, Pertamina akan membeli produk Bukit Asam dengan harga kesepakatan pula. Kerja sama tersebut sudah melalui sejumlah kajian yang komprehensif dari sejumlah pakar dan ahli energi. Perjanjian itu akan mulai berlaku selama dua tahun ke depan.

“Kami mengharapkan dengan sinergi dan inovasi pengelolaan energi ini, ketahanan dalam hal energi kita semakin baik. Kita bisa mandiri dalam pengelolaan sumber daya. Sumber daya yang dimiliki bukan sekadar proyek, melainkan produk yang mesti dimanfaatkan sekaligus jaga bersama,” kata Erick.

Sementara itu, Heru Setiawan, Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Risiko (PIMR) Pertamina, mengungkapkan kerja sama ini merupakan salah satu upaya Pertamina bersama Bukit Asam memberdayakan sumber daya domestik. Saat ini banyak batu bara dengan kalori rendah di Bukit Asam yang tidak terkomersialisasi.

“Kami sepakat sumber daya alam ini dikomersialisasikan menjadi methanol yang bermanfaat untuk mensubtitusi gasoline dan GMT,” kata Heru.

Menurut Heru, produk yang akan dibeli digunakan sebagai bahan pencampuran gasoline sehingga mengurangi impor produk gasoline. “Keuntungan bagi negara adalah kerja sama ini akan mereduksi impor gasoline. Selain itu, harga methanol lebih murah di bawah harga gasoline impor. Kalau ini berhasil diterapkan, kita bisa menghemat biaya produksi gasoline,” kata Heru.

Setelah penandatanganan ini, Pertamina bersama Bukit Asam mulai melihat peluang bisnis melalui gasifikasi batu bara menjadi methanol. Jangka waktu kerja sama ini dua tahun. “Kami akan berupaya maksimal mewujudkan harapan pemerintah untuk bisa menciptakan monetisasi low rank coal menjadi suatu yang berharga dan memberikan benefit bagi semua pihak,” tandas Heru.(RI)