JAKARTA– Konservasi hutan dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Indonesia melibatkan kompleksitas hubungan antara dua aspek penting pembangunan berkelanjutan, yaitu melindungi dan menjaga lingkungan melalui konservasi hutan serta memenuhi kebutuhan energi melalui pembangkit
listrik tenaga air (PLTA).

“Menjaga keseimbangan antara konservasi hutan dan PLTA menjadi krusial untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan,” ujar Rachmawaty, Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara, saat berbicara pada simposium nasional  bertema Peluang dan Tantangan Pembangkit Listrik Tenaga Air di Indonesia yang diselenggarakan secara hybrid di Lantai 5 Gedung IASTH UI, Salemba, Kamis (23/11/2023). Pembicara lain pada simposium tersebut adalah Rektor Institut Teknologi PLN Prof Iwa Garniwa, Dosen Sekolah Ilmu Lingkungan UI Mahawan Karuniasa, dan Retno Gumilang Dewi, dari Center for Research on Energy Policy, Institut Teknologi Bandung.

Menurut Rachmawaty, konservasi hutan dan PLTA melibatkan beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mencapai keseimbangan yang optimal antara kebutuhan energi dan pelestarian lingkungan. Salah satu masalah utama adalah mengintegrasikan upaya konservasi hutan yang esensial dengan operasional PLTA untuk mencapai kesinambungan ekologis, ekonomis, dan sosial.

“Hutan sebagai ekosistem yang kaya akan keragaman hayati dan pemangku kepentingan yang kompleks, memiliki peran krusial dalam menjaga keseimbangan ekosistem global,” ujar Ketua Program Studi S2 dan S3 Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, USU.

Menurut dia, beberapa hal perlu diperhatikan, di antaranya hutan merupakan habitat bagi berbagai spesies flora dan fauna yang krusial dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Pengurangan lahan hutan perlu dikurangi agar tidak terjadi fragmentasi habitat, kepunahan spesies tertentu dan keragaman hayati dan kualitas ekosistem tetap terjaga. Perpindahan atau penggusuran masyarakat lokal dari lahan karena
pembangunan PLTA perlu memperhatikan dampak sosial dan ekonomi.”Contohnya, hilangnya mata pencaharian, perubahan pola hidup, dan konflik dengan pihak-pihak yang terlibat,” jelas dia.

Rachmawaty memberikan rekomendasi perlunya analisis mendalam dan menyeluruh tentang dampak yang mungkin timbul. Upaya ini dilakukan melalui pemilihan lokasi yang tepat, rencana restorasi hutan, teknologi dan inovasi, partisipasi masyarakat, pendekatan adaptif, dan pemantauan serta pelaporan. “Di luar itu perlu ada edukasi dan kesadaran lingkungan serta kolaborasi lintas sektor, selain evaluasi rutin,” katanya.

Solusi strategi mengatasi masalah tersebut, lanjut Rachmawaty, adalah pelibatan masyarakat, pendidikan dan kesadaran lingkungan, riset dan inovasi, pemantauan independen, dan evaluasi periode. Selain itu, evaluasi potensi dampak lingkungan, penentuan lokasi yangs esuai, perencanaan restorasi hutan, dan teknologi ramah lingkungan dan pemantauan pelaporan rutin.

Mahawan Karuniasa mengakui, PLTA yang dikembangkan dengan basis bendungan memeiliki kelebihan, salah satunya adalah ramah lingkungan karena rendah emisi. Dia mencontohkan PLTA Batang Toru di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, dengan kapsaitas terpasang pada beban puncak 510 megawatt. PLTA tersebut dinilai memiliki kelebihan dalam aspek kelestarian ekosistem hutan. PLTA masuk kategori energi bersih, namun perlu beradaptasi dengan perubahan iklim dan menjaga kelestarian ekosistem di sekitarnya. “Perlu saya sampaikan, PLTA Batang Toru menggunakan sistem water waste sehingga tidak merusak lingkungan,” ujarnya.

Di sisi lain, lanjut Mahawan, pengembangan PLTA berbasis bendungan dapat berdampak pada ekosistem sungai di bagian hilir. Dia mencontohkan pengembangan PLTA di Colorado, Amerika Serikat yang memperlihatkan implikasi aliran di hilir sungai semakin sedikit karena jumlah bendungan yang semakin banyak. “Tantangan ini seharusnya bisa dipersiapkan solusinya sejak awal ,” katanya.

Mahawan juga menyebut tantangan lain pengembangan PLTA, yaitu dampak terhadap perubahan iklim. Saat kemarau panjang, menurut Mahawan, aliran air turun signifikan. Sebaliknya, ketika musim penghujan aliran air akan sangat deras. Kondisi ini tidak membuat PLTA yang terbangun terpaksa berhenti, baik karena kekeringan ataupun bendungan yang jebol karena aliran yang terlalu deras.

Persoalan berikutnya, menurut Mahawan adalah deforestasi. Hal ini berisiko terjadinya erosi di dasar daerah aliran sungai. Saat luas tutupan hutan hujan berkurang, risiko erosi semakin besar ketika musim hujan dan jumlah air juga bisa berkurang secara ekstrem ketika kemarau. “Ini akan berpengaruh pula pada operasional PLTA,” katanya.

Rachmawaty menambahankan, dalam pengembangan PLTA perlu pembayaran jasa lingkungan untuk menjaga kelestarian flora fauna disekitarnya. Menurut dia, air sangat penting untuk mendukung pengadaan energi ramah lingkungan. “Di satu sisi kawasan hutan harus dijaga namun, keberadaan air sebagai sumber energi bersih harus dilakukan. Hal ini bisa dijembatani dengan kolaborasi dan integritas multi pihak mulai masyarakat, pegiat lingkungan dan juga industri supaya manafatnya bisa di elaborasi tanpa membuat kerusakan kawasan hutan,” katanya. (DR)