PEKAN ini sektor energi dan sumber daya mineral (ESDM), khususnya subsektor minyak dan gas bumi mendapatkan tempat khusus diberbagai pemberitaan media nasional. Sayangnya, bukan menunjukkan kinerja positif, tapi pemberitaan tersebut justru negatif bagaimana migas menjadi beban besar bagi kondisi neraca keuangan Indonesia.

Defisit migas pada beberapa bulan terakhir jadi faktor utama defisit neraca perdagangan Indonesia. Ini diakibatkan  tingginya impor yang melebihi ekspor migas. Padahal ekspor non migas Indonesia cukup moncer, tapi tidak berlaku lantaran defisit migas terlampau besar.

Badan Pusat Statistik (BPS) dalam laporannya menunjukkan bahwa defisit neraca perdagangan sebesar US$1,02 miliar pada Agustus 2018. Impor migas yang didominasi minyak mencapai US$3,04 miliar, sementara ekspor hanya US$1,38 miliar. Akibatnya, neraca menjadi minus sebesar US$1,66 miliar. Berdasarkan pencatatan BPS, nilai tersebut adalah yang tertinggi dalam 13 bulan terakhir.

Impor minyak mentah pada periode Agustus tercatat US$1,04 miliar. Dan ekspor hanya US$ 564,5 juta. Untuk impor hasil minyak mencapai US$ 1,69 miliar atau lebih besar jika dibanding ekspor yang hanya mencapai US$ 92,1 juta. Ini berarti terdapat defisit US$ 1,6 miliar.

Total impor Indonesia pada Agustus 2018 sebesar US$16,83 miliar . Realisasi itu sebenarnya turun 7,97 % jika dibanding Juli 2018. Sebab, impor nonmigas turun sebesar US$ 1,84 miliar atau 11,79%. Tapi sayang nilai impor migas meningkat.

Kebutuhan BBM yang terus meningkat membuat nilai impor juga naik seiring keterbatasan produksi minyak nasional.

Kebutuhan akan minyak semakin tinggi tentu bisa dipahami seiring pertumbuhan penduduk. Serta jumlah kendaraan yang jadi penyedot utama konsumsi minyak Indonesia.

Beberapa negara penyumbang atau yang memasok impor minyak  terbesar Indonesia pada Agustus ini diantaranya adalah Singapura dengan volume 1,84 juta ton dengan nilai US$ 1,219 miliar, kemudian ada Malaysia dengan volume 292,2 ribu ton bernilai US$ 174,7 juta. Di posisi ketiga ada Amerika Serikat yang memasok minyak sebesar 232,5 ribu ton dengan nilai US$ 141,8 juta. Lalu  Korea Selatan sebesar 212 ribu ton atau senilai US$ 145 juta dan India dengan volume 48 ribu ton dan senilai US$ 34,3 juta.

Lalu ada beberapa negara Eropa, seperti Jerman sebesar 1,3 ribu ton senilai US$ 2,1 juta dan Belgia dengan volume 3,4 ribu ton atau senilai US$ 4 juta.

Kondisi tersebut tentu membuat Kementerian ESDM manyun, lantaran terus disorot karena sektor yang ditanganinya jadi biang keladi rapor merah neraca perdagangan Indonesia.

Duet Menteri Ignasius Jonan dan Wakilnya Arcandra Tahar tentu tidak mau kehilangan muka akan kondisi yang terjadi ini. Keduanya sampai harus memanggil mendadak para awak media awal pekan ini untuk menjelaskan bahwa sektor yang mereka tangani kinerjanya tidak jelek-jelek amat.

Pemerintah mengklaim defisit yang terjadi di migas diakibatkan konsumsi  BBM jenis solar yang tinggi tidak bisa dihindari lantaran pertumbuhan ekonomi dan peningkatan aktivitas sektor pertambangan batu bara untuk menggenjot produksi.

Ketika produksi didorong maka penjualan batu bara diharapkan akan meningkat, termasuk ekspor. Ini yang menurut pemerintah bisa dijadikan sebagai tambalan defisit migas. Apalagi pemerintah juga telah memberikan persetujuan tambahan ekspor batu bara sebanyak 100 juta ton.

“Kalau itu terealisasi nilai ekspor US$ 60 per ton kali 100 juta (tambahan kuota) itu US$ 6 miliar. Itu bisa nutupi malah lebih. Tapi sampai sekarang yang mengajukan 22 juta-23 juta ton. Untuk tiga bulan itu bisa nutupi dari ekspor,” ungkap Jonan di Jakarta, awal pekan ini.

Ekspor batu bara menjadi salah satu andalan pemerintah menutup defisit perdagangan migas.

Selain itu, Jonan mengatakan sektor migas memang defisit tapi dari sisi penerimaan sektor migas justru jadi ladang bagi penerimaan negara.

Pada tahun ini dalam APBN 2018 penerimaan sektor ESDM ditargetkan sebesar Rp156,7 triliun, akan tetapi pemerintah optimistis realisasi sampai akhir tahun penerimaan bisa mencapai Rp240,3 triliun.

Ini ditopang dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) migas yang diperkirakan melonjak dari target Rp86,5 triliiun menjadi Rp144,3 triliun, lalu PPh migas dari Rp 38,1 triliun menjadi Rp 55,4 triliun. Lalu untuk minerba dari target APBN sebesar Rp 32,1 triliun diproyeksikan menjadi Rp 40,6 triliun.

Akan tetapi yang harus diingat, melonjaknya perkiraan pendapatan ini lebih banyak ditopang harga komoditas yang sedang tinggi. Harga minyak dunia saat ini berada dikisaran US$70-an per barel dan batu bara sudah diatas US$100-an per ton. Untuk Agustus saja Harga Acuan Batubara (HBA) menyentuh US$ 107,83 per ton.

Strategi Pemerintah

Kepanikan Kementerian ESDM masih tidak berhenti sampai di situ. Pemerintah justru berharap pengurangan impor minyak bisa terjadi pada perluasan program mandatory B20 atau pencampuran solar dengan biodiesel 20%.

Dengan perluasan B20 maka paling tidak  940.407 KL solar akan berkurang penggunaannya sejak September hingga Desember 2018 karena diganti dengan bahan bakar nabati jenis biodiesel.

“Kalau B20 sukses kita tidak akan mengeluarkan dolar untuk membeli impor (solar) kan,” kata Djoko Siswanto, Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM.

Selain itu, pemerintah juga telah mewajibkan kontraktor yang beroperasi di Indonesia untuk menawarkan minyaknya ke Pertamina atau tidak lagi diekspor dengan penerbitan Permen ESDM No 42 Tahun 2018 tentang prioritas pemanfaatan minyak bumi untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Perhitungannya paling tidak impor akan berkurang 225 ribu – 230 ribu barel per hari (bph) dengan kebijakan tersebut.

Namun sayang kebijakan tersebut sampai sekarang belum dapat terlaksana karena masih ada keraguan dalam sistem perpajakan. Apabila ketentuan pajak sudah jelas maka rintangan berikutnya adalah negosiasi harga dengan PT Pertamina (Persero). Kontraktor kontrak kerja sama (KKKS)  dalam setiap kontrak dengan SKK Migas sebagai perwakilan pemerintah memiliki hak untuk menjual hasil minyaknya dengan harga terbaik.

Strategi berikutnya, lanjut Djoko, adalah memaksimalkan penggunaan produk jasa dalam negeri atau Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Serta  langkah selanjutnya dengan mewajibkan perusahaan menggunakan Letter of Credit (L/C) ketika membeli produk di sektor ESDM termasuk migas.

Ini tertuang dalam Permendag No 94 Tahun 2018. Aturan ini akan mewajibkan penggunaan L/C dari perbankan nasional untuk kegiatan ekspor mineral, batu bara, minyak dan gas bumi, serta minyak kelapa sawit. Beleid yang terbit pada 7 September ini akan mulai berlaku pada 30 hari setelah diterbitkan artinya pada 7 Oktober mendatang.

Dengan adanya regulasi ini maka para eksportir wajib mengikuti aturan  main dalam kegiatan ekspor. Pada pasal 4 ayat 1 mewajibkan cara pembayaran L/C untuk ekspor wajib diterima melalui bank devisa dalam negeri.

“Semua negara atau perusahaan yang akan membeli produk di bidang energi, baik itu batu bara, emas, dan yang lainnya, itu harus bayar buka L/C di negeri ini. Kan kita dapat dolar. Yang buka L/C di luar negeri, kita pindahkan ke dalam negeri. Artinya akan banyak masuk uang,” ungkal Djoko.

Jangka Pendek

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, mengatakan untuk jangka pendek tidak banyak yang bisa dilakukan pemerintah guna membendung defisit migas. Tapi pemerintah bertindak cukup responsif dalam menghadapi fenomena ini dengan perluasan B20 dan kebijakan pembelian minyak mentah produksi KKKS oleh Pertamina juga salah satu diantaranya.

Kalau saja memang kedua strategi pemerintah ini bisa berjalan dengan optimal maka bukan tidak mungkin dampaknya bisa langsung dirasakan dalam waktu dekat. “Jika dapat segera jalan bisa dirasakan untuk tahun ini,” kata Komaidi.

Namun yang kembali menjadi masalah baru sekitar 20 hari berjalan, perluasan B20 ternyata masih menemui kendala di lapangan. Alhasil hingga 20 September dari 112 terminal BBM milik Pertamina yang disiapkan baru 69 terminal yang mendapatkan pasokan biodiesel. Sebanyak 43 terminal lainnya masih belum menerima. Ini mengakibatkan Pertamima masih menjual solar B0 atau solar tanpa campuran biodiesel 20% di beberapa wilayah Indonesia timur.

Berdasarkan identifikasi masalah yang dihimpun ada beberapa masalah yang dikembangkan, yakni adanya perbedaan harga acuan solar untuk pembiayaan biodiesel atau FAME PSO dan FAME non-PSO, sehingga badan usaha BBN tidak bersedia menyalurkan FAME PSO untuk konsumen non-PSO sehingga konsumen dilayani B0 meski ada FAME di Terminal BBM.

Kemudian ada persoalan kesanggupan Badan Usaha BBN untuk supply perdana FAME non-PSO ke Terminal BBM Utama seperti Wayame, Baubau, Kupang, Tanjung Wangi, Bitung, Tanjung Uban adalah di minggu ke-4 September 2018 sehingga pendistribusian B20 dari TBBM utama ke end terminal BBM menjadi tertunda.(Rio Indrawan)