Pagi itu, kawasan Ekowisata Mangrove Batu Lumbang masih tampak sepi. Sejumlah kano, perahu boat maupun perahu nelayan berjejer rapi di sekitar dermaga yang berada di Desa Adat Pemogan, pesisir selatan Kota Denpasar, Bali.

Ekowisata Mangrove Batu Lumbang menjadi pilihan destinasi wisata alam yang dapat dikunjungi, baik wisatawan lokal maupun mancanegara saat berkunjung ke Pulau Dewata Bali. Menggunakan perahu maupun kano, pengunjung bisa menyusuri kawasan hutan Mangrove yang lebat dengan sejumlah habitat burung.

Ekowisata yang merupakan binaan dari PT PLN Indonesia Power ini merupakan destinasi wisata susur mangrove berbasis digital pertama yang ada di Kota Denpasar.

Pengelola Ekowisata Mangrove Batu Lumbang mulai memanfaatkan teknologi digital dalam pengembangan ekowisata. Pemanfaatan digital diterapkan mulai dari penggunaan QR Code untuk mendata jumlah wisatawan yang datang serta memperluas pemasaran ekowisata dan produk pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) berupa stik mangrove, sirup dan kopi mangrove serta kain ecoprint melalui platform digital @ekowisatamangrove.batulumbang.

Berbeda dari ekowisata mangrove dilokasi lain, Ekowisata Mangrove Batu Lumbang tidak hanya menawarkan wisata susur mangrove, namun juga memberikan edukasi terkait konservasi mangrove serta mengajak wisatawan untuk melakukan pemungutan sampah yang ada dikawasan hutan mangrove.
Pengelola ekowisata ingin memberikan pengalaman yang berbeda dari wisata susur mangrove lainnya, wisatawan tidak hanya dapat menikmati indahnya kawasan hutan mangrove namun juga turut menjaga kelestarian mangrove.

Ekowisata Mangrove Batu Lumbang merupakan program Community Development PLN Indonesia Power untuk mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG’s) salah satunya adalah SDG’s nomor 14 yakni menjaga ekosistem laut. Bersama dengan Kelompok Usaha Bersama (KUB) Segara Guna Batu Lumbang yang merupakan kelompok nelayan di kawasan hutan mangrove, PLN Indonesia Power terus melakukan pengembangan program mulai dari konservasi hutan mangrove hingga pendampingan pengembangan destinasi wisata.

Sekretaris Perusahaan PLN IP Agung Siswanto, mengatakan PLN IP merupakan perusahaan yang berkomitmen pada pengurangan emisi melalui berbagai program. Salah satu program di antaranya adalah Ecowisata Mangrove.

“Hutan mangrove ini kemampuan menangkap emisinya lima kali lipat dibanding hutan biasa. Bahkan ada satu jenis mangrove yang kemampuannya 10 kali lipat,” kata Agung Jumat, 24 November 2023.

Senior Manager Bali PGU I Made Harta Yasa menyampaikan bahwa program pengembangan Ekowisata Mangrove Batu Lumbang adalah komitmen perusahaan untuk terus berkontribusi pada kelestarian ekosistem hutan mangrove untuk mendukung penanganan perubahan iklim yang saat ini terjadi.
“Pengembangan Ekowisata Mangrove Batu Lumbang tentunya juga tidak lepas dari kemitraan yang dijalin oleh perusahaan dengan para stakeholder, diantaranya adalah dari masyarakat sekitar, perusahaan swasta lain, akademisi, media dan pemerintah,” kata Made.

Made mengatakan program pemberdayaan yang dilakukan diawali dari semangat konservasi Hutan Mangrove di Tahura Ngurai Rai yang kemudian pengelolaannya diserahkan KUD Batu Lubang untuk melakukan konservasi dan pelestarian.

“Karena masalah disini adalah sampah yang mengancam kehidupan mangrove untuk tumbuh dan berkembang, diawal program dilaksanakan peningkatan kapasitas building, perubahan mindset untuk melakukan pelestarian mangrove,” ungkapnya.

Ketua Kelompok Usaha Bersama Nelayan Segara Guna Batu Lumbang, I Wayan Kona Antara, mengungkapkan anggota kelompok secara rutin mengumpulkan sampah yang ada di kawasan Hutan Mangrove dengan menggunakan kano.

“Setiap anggota kami ditargetkan bisa mengumpulkan 660 kilogram sampah setiap bulan,” kata Wayan.

Kedepannya Ekowisata Mangrove Batu Lumbang akan terus melakukan pengembangan, sehingga dapat menjadi destinasi wisata mandiri di Kota Denpasar. Hadirnya ekowisata dapat menjadi diversifikasi usaha bagi para nelayan, selain itu juga menjadi tempat konservasi dan edukasi kelestarian ekosistem hutan mangrove yang tidak hanya menjawab permasalahan lingkungan, namun juga berdampak pada peningkatanan perekonomian masyarakat pesisir. “Jika sebelumnya nelayan hanya bisa menghasilkan Rp75 ribu, sekarang bisa mencapai Rp300 ribu,” kata Wayan.(AT)