Sekretaris SKK Migas, Gde Pradnyana.

Suatu kabar menggembirakan tatkala memasuki Kuartal Pertama 2013, Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengumumkan keberhasilan meningkatkan angka produksi minyak nasional menjadi rata-rata 830.900 barel per hari. Lebih tinggi dibandingkan angka produksi pada hari terakhir Desember 2012 yang hanya 825.000 barel per hari.

Sayangnya, peningkatan produksi itu baru bisa diperoleh dari optimalisasi lapangan produksi yang sudah ada, bukan dari cadangan baru yang ditemukan. Sekretaris SKK Migas, Gde Pradnyana mengungkapkan, kegiatan eksplorasi (penemuan cadangan baru migas) masih kerap terganjal berbagai persoalan ekternal. Diantaranya yang paling utama adalah perizinan dan kepastian hukum. Berikut petikan interview Dunia Energi (DE) dengan Gde Pradnyana (GP) pada Jumat petang, 19 April 2013.  

DE: Sebelumnya kami mengucapkan selamat atas mulai meningkatnya produksi migas nasional. Tetapi angkanya masih jauh dari target APBN 2013 ya, sebesar 900.000 barel per hari?

GP: Jadi memang, peningkatan produksi migas yang kami sampaikan baru-baru ini itu, hanya berasal dari cadangan yang sudah ada. Sedangkan penemuan cadangan baru belum signifikan menambah angka produksi. Penambahan cadangan juga belum meningkat. Kita hanya bisa menggenjot produksi pada lapangan-lapangan yang sudah berproduksi (lapangan eksisting, red) lewat kegiatan work over, infill drilling, dan well service. Satu-satunya sekarang yang bisa diharapkan menggejot produksi secara signifikan ya cuma produksi dari Blok Cepu, karena memang tergolong cadangan baru.

DE: Apa yang menjadi penyebab upaya penemuan cadangan-cadangan baru begitu seret?

GP: Ya sebagian besar adalah faktor-faktor eksternal diantaranya yang paling utama adalah perizinan. Soal perizinan ini belum berubah kondisinya sejak tahun lalu sampai sekarang. Implementasi antara aturan hukum dan pelaksanaannya di lapangan masih sering tidak selaras. Kalau untuk pemboran produksi kita 90% sudah bisa berhasil. Tapi kalau untuk pengeboran eksplorasi, baru 50% tingkat keberhasilannya.

DE: Selain perizinan, apakah persoalan kurangnya kepastian hukum, termasuk kasus bioremediasi yang dialami Chevron saat ini, juga menjadi kendala dalam upaya meningkatkan produksi migas Indonesia?

GP: Faktanya yang ada memang begitu. Namun yang paling dominan adalah masalah perizinan. Ditambah lagi, soal pencurian minyak mentah saat ini juga semakin marak, kerawanannya semakin tinggi dan (lokasi pencuriannya, red) meluas, sehingga sangat mengganggu upaya meningkatkan produksi migas nasional.

DE: Untuk masalah eksplorasi yang terganjal perizinan, langkah apa yang ditempuh SKK Migas untuk mengatasinya?  

GP: Jadi memang meningkatnya penemuan cadangan baru migas melalui eksplorasi itulah yang kita coba kejar tahun ini. Sehingga SKK Migas mencanangkan tahun ini sebagai tahun pemboran. Terkait dengan kendala perzinan dan lain sebagainya, kita sudah terapkan monitoring mingguan. Mana yang paling rawan untuk tidak berhasil, itu yang kita kejar terus untuk diprioritaskan. Kalau problemnya pendanaan, Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS)-nya kita desak terus, agar mengadakan pendanaan. Sehingga KKKS juga tidak bisa main-main.

DE: Jadi prinsipnya kalau sudah memenangkan lelang wilayah kerja migas harus benar-benar dikerjakan ya Pak, tidak boleh cuma dijadikan portfolio?   

GP: Ya kalau sudah dapat blok harus sungguh-sungguh dikerjakan. Memang ada kendala dana kadang-kadang, tapi kita paksa itu untuk diatasi KKKS sendiri, karena dana itu kan bukan tugas kita. Kita akan bantu sesuai tugas dan wewenang SKK Migas. Pengadaan drill (alat bor, red) juga terkadang susah, tapi itu masih dalam jangkauan kita untuk mengatasinya.

DE: Lalu untuk kendala kepastian hukum bagaimana cara mengatasinya?

Jawab: Yang bisa kita lakukan adalah berkoordinasi antar instansi. Maka dari itu kita banyak menjalin kerjasama dan membuat MoU (Memorandum of Understanding/Nota Kesephaman) dengan instansi lain, guna menyelesaikan problem-problem eksternal itu. Di era demokratisasi ini persoalan eksternal itu menjadi sangat serius. Beda dengan dulu ketika lex specialist untuk sektor migas masih diterapkan. Apa pun yang terjadi sektor migas tetap diprioritaskan.

DE: Padahal operasi hulu migas ini kan dinaungi oleh Production Sharing Contract (PSC). Apakah itu berarti PSC tidak cukup efektif mengikat?

GP: Lho PSC-nya mengikat, namun implementasinya yang tidak selalu mulus. Masih dibutuhkan lebih banyak lagi sinkronisasi dan koordinasi. PSC itu kan mengikat para pihak, yakni KKKS Migas dan pemerintah. Tetapi karena saat ini tidak berlaku lagi lex specialist untuk sektor hulu migas, maka untuk mengurus berbagai hal terutama perizinan, kita diperlakukan sama dengan sektor-sektor yang lain. Harus mengikuti prosedur perizinan dan rantai birokrasi yang panjang dan memakan waktu lama. Sedangkan target hulu migas ini setiap tahun meningkat.  

Maka dari itu, keluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Percepatan Peningkatan Produksi Migas, guna memecahkan persoalan birokrasi dan perizinan yang kerap menghambat. Namun seperti saya bilang, kondisinya belum berubah sejak tahun lalu sampai sekarang. Mungkin inilah konsekuensi demokratisasi dan otonomi daerah yang harus kita hadapi saat ini. SKK Migas pun harus turun untuk mengatasi berbagai problem perizinan yang kaitannya dengan pemerintah daerah.  

(Abraham Lagaligo/abrahamlagaligo@gmail.com)