Dony Indrawan (kemeja putih) saat memberikan penjelasan tentang kasus bioremediasi dalam sebuah diskusi.

Dony Indrawan (kemeja putih) saat memberikan penjelasan tentang kasus bioremediasi dalam sebuah diskusi.

JAKARTA – Sepanjang perjalanan kasus bioremediasi yang sudah berlangsung setahun lebih, Dony Indrawan boleh dibilang salah satu dari sekian banyak orang yang menjadi teramat sibuk. Tak jarang Corporate Communication Manager Chevron Indonesia ini masih terlihat di gedung pengadilan hingga lewat pukul 12 malam. Esoknya sehabis subuh, ia sudah tancap gas kembali bertugas.

Menurut Dony, apa yang dilakoninya selama lebih dari setahun ini, bukan semata-mata memenuhi tugas sebagai garda terdepan komunikasi PT Chevron Pacific Indonesia dengan masyarakat. Lebih dari itu, sebagai wujud perjuangan untuk meluruskan wajah hukum Indonesia, yang dinilainya hingga saat ini masih penuh dengan ketidakpastian.

Celoteh yang tak kenal lelah dari bibirnya hampir setiap hari tentang konteks proyek bioremediasi dan kasus hukum yang melilitnya, diakuinya tidak semata untuk membela teman-temannya yang tidak bersalah. Namun juga untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat luas, termasuk lembaga hukum di negeri ini, tentang bagaimana operasi hulu minyak dan gas bumi (migas) berlangsung.   

Seperti saat ditemui Dunia Energi pada Senin, 20 Mei 2013, pria yang akrab disapa “Don USA (Urang Sunda Asli)” ini tampak masygul. Ia mengaku prihatin dengan perjalanan kasus bioremediasi yang semakin kentara dipaksakan untuk tetap dikriminalkan. Terlebih setelah sejawatnya Bachtiar Abdul Fatah dijemput paksa oleh jaksa, dan dua kontraktor perusahaannya divonis hukuman penjara.      

Tidak Paham Cost Recovery

Menurut Dony, mencuatnya dugaan tindak pidana korupsi pada proyek bioremediasi, bersumber dari ketidakpahaman aparat penegak hukum utamanya Kejaksaan Agung, tentang operasi hulu migas dan mekanisme cost recovery (penggantian biaya operasi, red) dalam Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract/PSC). Akibatnya penegak hukum mengambil kesimpulan yang tidak tepat.

Ahli PSC dan pejabat Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) sebagai manajemen Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) migas telah menyampaikan bahwa dalam PSC ada tiga proses yang saling terkait berkenaan dengan cost recovery. Yaitu (1) proses pengambilan hak atas minyak mentah atau lifting, (2) proses pelaporan biaya aktual, (3) proses penyelesaian kelebihan/kekurangan pengambilan atau over/under lifting.

Menurut Dony, untuk mengatur biaya operasi mana yang bisa diganti, maka pemerintah menerbitkan PP No 79/2010 dan menetapkan 24 jenis biaya yang tidak dapat diberikan penggantian. Berdasarkan PP 79/2010, jika kontraktor telah mendapatkan penggantian biaya operasi namun jumlahnya tidak sesuai atau seharusnya tidak dapat dikategorikan sebagai biaya operasi maka pemerintah masih dapat menarik kembali jumlah selisih melalui mekanisme over/under lifting settlement. Pemerintah pun berwenang untuk melakukan audit sewaktu-waktu.

“Mengingat PSC merupakan sistem otonom yang memiliki mekanisme kontrol dan koreksi atas penggantian biaya operasi dalam masa kontrak  20 – 30 tahun sehingga tidak akan ada kerugian Negara. Ini kesepakatan kontrak yang telah dibuat pemerintah Indonesia,” tegas Dony.

Tuduhan Korupsi Padahal Biaya Belum Diganti

Dony menjelaskan bahwa PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) telah mengeluarkan biaya proyek bioremediasi sekitar 10,5 juta dollar pada periode 2006-2011, dengan beban cost recovery sebesar 9,9 juta dollar sesuai dengan prosentase bagi hasil CPI dan pemerintah dalam PSC. CPI pun telah membayar kedua kontraktornya, karena CPI menilai pekerjaan mereka sudah dilakukan sesuai kontrak proyek bioremediasi.

Seperti telah dinyatakan beberapa pejabat SKK Migas dalam persidangan, lanjut Dony, cost recovery sebesar 9,9 juta dollar untuk proyek bioremediasi telah ditangguhkan oleh SKK Migas sampai didapatkan hasil audit yang menyeluruh terhadap proyek bioremediasi sesuai mekanisme PSC sehingga semua biaya proyek bioremediasi masih ditanggung oleh CPI.

“Dengan penangguhan pengembalian biaya cost recovery ini maka Negara tidak mengalami kerugian apapun sehingga tidak ada dasar untuk tuduhan korupsi yang diajukan Kejagung dan tak beralasan bagi vonis hakim untuk meminta ganti rugi terhadap kontraktor CPI sebesar 9,9 juta dollar. Untuk ganti rugi siapa?” ujar Dony heran.

Vonis Bioremediasi Dipaksakan

Dimintai tanggapannya soal vonis yang dijatuhkan terhadapkan dua kontraktor CPI, Dony mengaku tidak bisa menampik kenyataan bahwa majelis hakim terlalu memaksakan, dalam memutus bersalah Herlan dan Ricksy. Keduanya kontraktor CPI yang membantu menjalankan aktifitas sipil pengolahan bioremediasi di lapangan dengan alasan tidak memiliki ijin.

Menurut Dony, majelis hakim telah mengabaikan penjelasan di persidangan dari pejabat Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) sebagai regulator di bidang lingkungan, bahwa kedua kontraktor itu tidak memerlukan izin karena mereka tidak menghasilkan limbah dan tidak memiliki fasilitas pengolahan bioremediasi sesuai dengan Kepmen 128/2003 dan PP 18/1999. Dalam persidangan, KLH tegas menyatakan izin cukup dimiliki oleh CPI, dan CPI sudah memiliki izin tersebut.

Selanjutnya ungkap Dony, majelis hakim hanya mengikuti penjelasan Kepmen 128/2003 dan PP 18/1999 dari ahli yang ditunjuk Kejaksaan Agung (Kejagung), Edison Effendi, yang notabene pernah terlibat proyek bioremediasi dan kalah tender di CPI tahun 2004, 2007 dan 2011 sehingga keterangannya bermuatan konflik kepentingan. “Buktinya ada dan sudah disampaikan dalam persidangan,” jelas Dony.

Tuduhan Korupsi Salah Sasaran

Dony pun menegaskan bahwa proyek bioremediasi merupakan proyek resmi CPI yang wajib dijalankan sesuai mandat Kepmen 128/2003 dan PP 18/1999 yang mengharuskan pengolahan limbah dijalankan oleh siapapun yang menghasilkan limbah.

Seperti dikatakan pejabat KLH dalam persidangan bahwa proyek bioremediasi harus berjalan atau operasi migas CPI menjadi tidak taat hukum. Pejabat SKK Migas pun menyatakan bahwa SKK Migas telah menyetujui dan mengawasi proyek ini sejak pengajuan program kerja dan anggaran.

Menurut Dony, para terdakwa yang merupakan karyawan CPI hanya menjalankan tugas yang diperintahkan oleh manajemen perusahaan. Para terdakwa pun tidak memiliki akses untuk mempengaruhi dan memastikan pembayaran biaya kepada kontraktor karena ada mekanisme persetujuan dan pengawasan yang berlapis oleh bagian yang berbeda-beda dalam organisasi CPI.

“Tak satupun dari para terdakwa yang berwenang memutuskan untuk melanjutkan atau menghentikan proyek ini atau pembayarannya karena ini proyek perusahaan serta mandat PSC dan undang-undang lingkungan. Bahkan beberapa terdakwa tidak terlibat dalam proyek ini. Tuduhan yang ditujukan kepada para terdakwa ini jelas telah salah sasaran,” jelas Dony.

“Kedua kontraktor yang membantu CPI, Sumigita Jaya dan Green Planet Indonesia hanya mengikuti dan mengacu kepada semua syarat kontrak proyek bioremediasi yang ditetapkan oleh CPI dan dinilai pekerjaannya pun oleh CPI. Mereka sama sekali tidak ada hubungan dan keterlibatan dengan perhitungan cost recovery yang disampaikan dan menjadi tanggungjawab CPI kepada SKK Migas,” ujar Dony.

Masih Ada Kesempatan Meluruskan

Dony menuturkan bahwa selama puluhan tahun, Undang-Undang (UU) Lingkungan dan KLH serta produk-produk peraturannya, telah dijadikan acuan dalam pelaksanaan dan penegakan hukum lingkungan di Indonesia termasuk di operasi migas. Selama itu pula, UU Migas, PSC dan pedoman tata kerja (PTK) SKK Migas menjadi acuan dalam menjalankan operasi migas di Indonesia.

Menurut Dony,  setiap warga negara dan pelaku industri memerlukan kejelasan, kepastian dan konsistensi dalam penerapan dan penegakan hukum. Tindakan Kejagung dan vonis majelis hakim terhadap kedua kontraktor CPI telah menimbulkan kesimpangsiuran dan ketidakpastian dalam penegakan peraturan lingkungan, karena putusan tersebut mengabaikan kesaksian pejabat KLH sebagai regulator di bidang lingkungan. Tindakan Kejagung dan vonis majelis hakim yang mengabaikan kesaksian dan pernyataan SKK Migas sebagai manajemen KKKS, juga menimbulkan ketidakpastian dalam pelaksanaan PSC migas.

“Jika kasus ini diteruskan sebagai kasus pidana korupsi, maka hal ini telah melanggar kesepakatan pemerintah Indonesia dan CPI dalam PSC yang merupakan kontrak bisnis di ranah hukum perdata dimana mekanisme penyelesaian perkara telah diatur secara jelas. Jika proyek ini tetap dianggap oleh Kejagung dan majelis hakim memiliki masalah maka biarlah mekanisme PSC yang telah disepakati pemerintah Indonesia untuk dijalankan bukan mempidanakan karyawan dan kontraktor CPI yang telah bekerja sesuai kontrak dan peraturan,” terang Dony.

“Insya Allah, masih ada kesempatan bagi semua pihak khususnya penegak hukum untuk memakai akal sehat dan nurani dalam melihat persoalan ini secara jernih, dan meluruskan kekeliruan yang telah dibuat. Tidak perlu ragu untuk bertindak yang benar. Tuhan Maha Pengampun dan tidak tidur,” pungkasnya.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)