JAKARTA- Dirut Utama PLN Nur Pamudji tidak sedan demam politik jika tiba-tiba bicara lebih senag era zaman Soeharto. Ia menegatakn tersebut dalam konteks policy harga listrik yang dianggapnya lebih menguntungkan PLN pada era Soeharto. “Saya lebih senang dengan tarif listrik pada tahun 1994-1997, eranya Presiden Soeharto,” ucap Nur Pamudhi
Pada saat itu tariff listrik selalu berubah disesuaikan dengan pergerakan nilai tukar Rupiah, harga ICP dan inflasi. Pada waktu itu PLN meraih keuntungan yang sangat besar jika dibandingkan BUMN-BUMN lainnya. Rating utangnya ratina BB- (peringkat utang), Subsidi juga nol. Kalau listrik mau naik pun tidak perlu lapor DPR seperti sekarang.
Masyarakat juga tidak pernah berdemo karena tariff selalu floating, bisa naik, bisa juga turun. ” Saya merindukan regulasi keemasan pada jaman itu. Ekonomi juga tetap berjalan tumbuh 6 persen, politik saja yang bermasalah,” ujar Nur.

Sistem tariff floating ini ikut tergusur ketika krisis ekonomi yang terjadi pada 1998 yang membuat nilai tukar rupiah terpuruk . Tarif pun akhirnya disubsidi yang terus bertahan hingga sekarang. Baru pada Mei 2014, sistem floating ini diberlakukan . Itupun tidak semua, hanya pada p pelanggan nonsubsidi (rumah tangga) besar R-3 daya 6.600 va ke atas, bisnis menengah B-2 daya 6.000 va sampai 200 kva, bisnis besar B-3 daya di atas 200 kva dan kantor pemerintahan sedang P-1 daya 6.600 va sampai 200 kva. (AH/dunia-energi@yahoo.co.id)