JAKARTA – Pemerintah bisa saja meminta bahkan menuntut PT Vale Indonesia Tbk (INCO) untuk mengembalikan wilayah tambang lantaran ada kewajiban dalam Kontrak Karya (KK) yang dinilai tidak dipenuhi oleh perusahaan tersebut.

Hendi Prio Santoso, Direktur Utama Mineral Industry Indonesia (MIND ID), menyatakan sesuai dengan amanat dalam KK seharusnya ada kewajiban yang dipenuhi Vale yaitu mengembangkan kapasitas produksi di Sorowako. Akan tetapi ditengah jalan justru Vale mengalihkan rencana pengembangan tersebut dengan akan membangun fasilitas smelter HPAL di dekat Sorowako.

“Kami catat dalam KK sudah ada kewajiban pengembangan kapasitas produksi yang ada di sorowako sebesar 25%. tapi sejak 2014 sampai terakhir itu dua kali gagal dilakukan. dan Vale mengajukan usulan subtitusi dari kewajiban berupa tambang nikel dan HPAL di Sorowako. jadi tidak mengembangkan RKEF (Rotary Kiln Electric Furnace) lagi tapi substitusi menjadi HPAL. Ini masih dalam tahapan studi persiapan. ini harus dicatat karena ini terkait dengan syarat dalam KK yang harus diikuti,” jelas Hendi di komplek DPR RI, Selasa (29/8).

Selanjutnya pengembangan nikel dan smelter di Pomalaa juga dinilai berpotensi untuk bermasalah ke depannya yang akan berdampak pada penyelesaian proyek. Menurut kajian yang dilakukan MIND ID, Vale ditengah jalan mengubah perencanaan pengembangan proyek Pomala dengan mengganti mitra serta engineering design. Perubahan yang terkesan tiba-tiba itu menunjukkan kurangnya komitmen investasi Vale.

Selain itu dalam kemitraan yang dijalin saat ini Vale bahkan mengajukan syarat call option artinya tidak dari awal terlibat di dalam proyek. “Tapi hanya meminta opsi, seandainya proyek selesai dilakukan pihak mitra mereka minta opsi akan bisa beli sebesar 30% saham dari penyertaan modal yang dilakukan. Ini menurut kami kurang optimal karena kurang jelasnya gambaran keekonomian yang diterima. yang jelas mungkin hanya menjadi core supplier terhadapat smelter baru yang akan dibangun oleh mitra. Tapi berapa nilai tambahnya, tidak jelas bagi kami,” jelas Hendi.

Selanjutnya proyek di Bahadopi juga dinilai tidak optimal karena MIND ID menganggap keeknomian proyek tersebut masih kurang. Ini tentu berbahaya di masa depan saat proyek sedang dikerjakan sangat rentan untuk merugi jika dari awal sudah ada indikasi tidak sesuai keekonomian.

“Keekonomiannya kurang karena juga ada pasal2 memberikan mitra itu private dividen, jadi ada kesan subsidi silang dari hulu ke midestream-nya. Lalu sumber energi yang diproyeksikan dari LNG, bukan sumber energi termurah yang bisa dilakukan untuk pengembangan proyek smelter RKEF ini. Dan juga sebagai catatan, belum adanya komitmen kargo, alokasi yang jelas untuk proyek ini,” ungkap Hendi.

Dia pun meminta pemerintah bisa melakukan kajian lebih mendalam terhadap rencana investasi Vale tersebut, karena seyogyanya investasi itu dilakukan jauh-jauh haru sesuai dengan KK yang telah disepakati. Bahkan bukan tidak mungkin apabila memang ada indikasi Vale tidak bisa memenuhi kewajiban yang sudah disepakati dalam KK pemerintah bisa meminta Vale untuk mengembalikan wilayah tambang.

“Dari ketiga kewajiban yang tertera di KK ini, kami berharap pemerintah bisa melkaukan kajian dan penilaian sehingga apabila komitmen pengembangan tidak terpenuhi maka sesuai dengan aturan dalam KK maka perlu dilakukan relinquishment (pengembalian wilayah) di area terkait dengan proyek,” kata Hendi.

Menurut Hendi penetapan pengembalian wilayah tambang memungkinkan terjadi apalagi jika memang proyek di Sorowako dan Pomalaa memang terindikasi tidak akan memenuhi target.

“Jadi yang dapat dicatat adalah bahwa target pembangunan proyek Sorowako dan Pomalaa kemungkinan besar tidak tercapai sehingga konsekuensi pada aturan kontrak karya 2014 pemerintah dapat mempertimbangkan relinquishment wilayah kerja jika komitmen investasi tidak dapat selesai sesuai waktu,” ujar Hendi. (RI)