JAKARTA – Data produksi maupun penjualan batu bara yang tidak sinkron antar satu lembaga dengan lembaga lain menyebabkan penerimaan negara optimal. Firdaus Ilyas, Peneliti Indonesia Corruption Watch, mengatakan optimalisasi bicara konsistensi. Di Indonesia, data yang ada justru beragam, baik produksi, penjualan dan penerimaan.

“Padahal sama-sama instansi negara. Kalau misal terjadi perbedaan itu pasti tidak akan optimal kewajiban langsung perusahaannya,” kata Firdaus dalam diskusi Strategi Pengelolaan Batu Bara Nasional di Jakata, Kamis (4/10).

Akibat ketidaksinkronisan data, maka transaksi ekspor batu bara kurang dilaporkan berpotensi besar menyebabkan kerugian negara.

Pada periode 2006–2015 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat total produksi batu bara nasional sebesar 3.315,2 juta ton, sementara BPS melaporkan data produksi batubara untuk periode yang sama adalah 3.266, 2 juta ton. Dengan kata lain terdapat selisih data produksi sebesar 49,1 juta ton.

Pada rentan waktu yang serupa, data ekspor batu bara yang dicatat Kementerian Perdagangan sebesar 3.421,6 juta ton. Disisi lain,  Kementerian ESDM mencatat volume ekspor hanya 2.902.1 juta ton. Ini artinya ada perbedaan data ekspor sebesar 519,6 juta ton.

Berdasarkan catatan Kemeterian Perdagangan selama periode 2006-2016 volume ekspor batu bara Indonesia sebanyak 3.421,6 juta ton. Jika dibandingkan dengan data yang dicatat oleh negara pembeli dalam periode yang sama yaitu sebanyak 3.147,5 juta ton,  maka ada selisih sebanyak 274,2 juta ton. Data versi indonesia (Kemendag) lebih tinggi.

Tidak cukup sampai disitu, selama periode 2006-2016 nilai ekspor batu bara Indonesia  sebesar US$184,853 miliar (FOB Basis). Disisi lain,  data negara pembeli total nilai impor batu bara yang berasal dari Indonesia sebesar US$226,525 miliar (CIF basis). Artinya, ada selisih US$ 41,671 miliar (CIF value – FOB value).

Menurut Firdaus, berdasarkan kajian yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan ICW ada loophole data-data PHE, Pemberitahuan Barang Ekspor (PEB) atau Laporan Survey (LS) dengan yang dilaporkan negara pembeli  pada periode  2006-2016 (11 tahun).

“Total (nilai yang tidak dilaporkan) unreporting value-nya itu kurang lebih US$27 miliar. Kalau kita kurs, Rp365 triliun (kurs Rp 13,500). Ada karena perbedaan volume, perbedaan harga ada mekanisme transfer pricing dan lain-lain. Rp113 trilliun diantaranya itu kewajiban langsung berupa royalti maupun pajak,” ungkap Firdaus.

Firdaus mengatakan akibat ketidaksinkronisan data, maka transaksi ekspor batu bara kurang dilaporkan berpotensi besar menyebabkan kerugian negara.

Dari total nilai transaksi yag kurang dilaporkan atau dilaporkan secara tidak wajar mencapai US$ 27,062 miliar (Rp 365,3 trliun, kurs Rp 13.500) akan berakibat pada kewajian kepada keuangan negara, baik royalti maupun pajak.

Secara keseluruhan nilai indikasi kerugian negara menurutnya mencapai Rp 133,6 triliun, yang berasal dari kewajiban pajak sebesar Rp 95,2 triliun dan royalti (DHPB) sebesar Rp 38,5 triliun.

“Sekarang itu mau dioptimalkan mau tidak, kan ada indikasi pelanggaran. Apakah mau diperbaiki pengawasannya dan diteggakkan mekanisme penegakkan hukum,”papar Firdaus.

Merry Maryati, Direktur Ekspor Produ Industri dan Pertambangan Direktorat Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, mengakui pihaknya selama ini melakukan pencatatan data ekspor berdasarkan data surveyor. Itu pun hanya sebagai backup karena jika diminta secara real time harus dari bea cukai. Itu pun setelah diminta masih dibutuhkan waktu sekitar dua bulan baru diberikan. Kemendag bukan termasuk dari tiga lembaga yang diberikan data secara real time. Adapun tiga lembaga itu adalah Badan Pusat Statistik, Bank Indonesia serta Bea Cukai.

“Kami tidak punya akses ke sana. Sekarang lagi dicoba MoU supaya bisa dapat data-data tersebut. Kalau ada itu kan late nya dua bulan. Kita butuh yang real time kan,” ungkapnya.

Menurut Merry, sementara terjadi perbedaan data dengan Kementerian ESDM karena basis pendataannya saja sudah berbeda. Kementerian ESDM mendata realisasi produksi sementara Kemendag mendata realisasi ekspor batu bara.

Jika dari sistem yang ada seharusnya pelanggaran terhadap volume batu bara yang dicatatkan untuk diekspor tidak terjadi karena sudah menggunakan sistem online.

Tidak ada lagi berkas fisik ke Kemendag kecuali konsultasi dan di approve izin berdasarkan online. Terlihat di Bea Cukai seperti kemudian dari Bea Cukai sendiri akan aturan berupa PMK sementara di Kemendag berupa Permendag. Jadi setiap ekspor terlihat seluruh data

“Logikanya tidak (bisa lolos dari pengawasan), bea cukai pakai sistem. Semua online, Permendag digital signature,” tandas Merry.(RI)