JAKARTA –  Meski sejak awal tidak mempunyai bukti yang kuat, Kejaksaan Agung (Kejakgung) tetap berupaya memidanakan empat karyawan PT Chevron Pacific Indonesia, dalam kasus bioremediasi. Bahkan instansi yang berkantor di kawasan Blok M Jakarta Selatan (Jaksel) itu pada Jumat, 23 November 2012 nekat mengajukan perpanjangan penahanan ke Pengadilan Negeri Jaksel.

Presiden Direktur Chevron, A Hamid Batubara langsung melayangkan protes keras atas langkah Kejakgung itu. Menurutnya, selama ini Chevron dan empat karyawannya yang ditahan, terus bekerjasama dalam penyidikan yang dilakukan Kejakgung.

“Namun mewakili karyawan dan keluarganya, kami sangat kecewa dan memprotes keras pengumuman hari ini bahwa Kejaksaan Agung akan memperpanjang penahanan karyawan kami dalam kasus bioremediasi selama 30 hari kedepan,” ungkap Hamid di Jakarta, Jumat, 23 November 2012.

Hamid menambahkan, pihaknya saat ini sedang menunggu putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jaksel, yang menguji sah tidaknya alasan penahanan empat karyawan Chevron tersebut. Namun demikian, tindakan memperpanjang masa penahanan sebelum keluarnya putusan Praperadilan, dinilainya tidak lazim.

Praperadilan sendiri ditempuh empat karyawan Chevron, sebagai upaya untuk memeriksa, sejauh mana keabsahan penyelidikan, penerapan prosedur hukum, dan penghormatan hak-hak asasi manusia warga negara Indonesia oleh Kejakgung dalam kasus bioremediasi tersebut.

“Dalam sesi sidang praperadilan sampai saat ini, tidak ada bukti yang disampaikan oleh Kejakgung yang membuktikan adanya kerugian negara,” kata Hamid lagi. Tidak juga ada bukti yang menyatakan terdapat aktivitas melawan hukum yang dilakukan para karyawan Chevron.

“Sampai sekarang, tidak ada alasan yang jelas yang disampaikan oleh Kejakgung, mengapa karyawan-karyawan ini dijadikan tersangka atas keterlibatan mereka dalam program lingkungan (bioremediasi, red) yang terbukti sukses dan disetujui oleh pemerintah,” tandasnya.

Bukti Awal Lemah

Secara terpisah, praktisi hukum Darmanto mengatakan, Kejakgung memang mempunyai hak mengajukan perpanjangan penahanan. Namun penetapan apakah penahanan akan diperpanjang atau tidak, adalah kewenangan pengadilan yang menangani perkara.

“Kalau pengadilan menyatakan tidak perlu ada perpanjangan penahanan, maka pengajuan Kejaksanaan Agung untuk memperpanjang penahanan sampai 30 hari kedepan bisa tidak dipenuhi,” ungkap advokat dari Farrianto & Darmanto Law Firm ini. Demikian pula jika putusan Praperadilan menyatakan penahanan tidak sah, maka pengajuan perpanjangan oleh Kejakgung gugur dengan sendirinya.

Yang menarik dalam kasus ini, tutur Darmanto, adalah sejak awal Kejakgung sebenarnya tidak memiliki bukti awal yang kuat, untuk melakukan penahanan. Karena tuduhannya adalah korupsi, maka harus ada potensi kerugian negara yang dibuktikan, melalui audit lembaga yang berwenang. “Hasil audit kerugian negara dari lembaga berwenang itu sampai sekarang belum ada,” ujarnya Jumat, 23 November 2012.

Memang ada hasil audit Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP) yang munculnya setelah penahanan dilakukan. Namun menurut hukum positif di Indonesia, BPKP bukanlah lembaga yang berwenang untuk mengaudit ada tidaknya kerugian negara. “Yang berwenang adalah BPK (Badan Pemeriksa Keuangan),” terangnya.

Sampai saat ini, hasil audit BPK juga belum diperoleh Kejakgung. Justru hasil audit BPKP yang menetapkan adanya potensi kerugian negara sebesar Rp 100 miliar, dianggap oleh banyak pihak seperti hasil audit ’pesanan’.

Hamid pun mengaku yakin, penahanan Kejagung atas karyawannya, tidak disertai bukti-bukti adanya tindakan kriminal. “Para karyawan ini, sebagai ayah dan ibu, dikenal baik  di lingkungannya dan di industri ini telah dipisahkan dari keluarga mereka selama hampir dua bulan,” ungkapnya sedih.

Ia menambahkan, salah satu karyawan, seorang wanita, bahkan sempat dimasukkan ke dalam sel tahanan laki-laki. Permintaan penangguhan penahanan sebelum persidangan telah ditolak meski sudah ada jaminan bahwa mereka akan hadir dalam persidangan.

Jeff Shellebarger, Managing Director Chevron IndoAsia business unit, juga menyatakan sangat prihatin dan sangat khawatir atas tidak dihormatinya hak-hak hukum, hak sipil dan hak asasi para karyawannya. “Karyawan kami memiliki hak untuk mengetahui alasan dijadikan tersangka dan alasan ditahan oleh Kejakgung,” tandasnya.

“Kami akan terus memberikan dukungan penuh untuk mempertahankan hak dan reputasi karyawan kami dan keluarganya dan berharap Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akan berlaku adil dan obyektif terhadap fakta-fakta yang ada dalam memeriksa kasus ini,” tegas Shellebarger.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@yahoo.co.id)