Dari kiri, Prof DR Romli Atmasasmita, SH, LLM bersama pakar hukum migas M Hakim Nasution dan Direktur Feforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto dalam diskusi "UU Migas dan Perlindungan Kontrak Kerjasama Dalam Memperkuat Kepastian Hukum di Indonesia", Rabu, 22 Januari 2014 di Jakarta.

Dari kiri, Prof DR Romli Atmasasmita, SH, LLM bersama pakar hukum migas M Hakim Nasution dan Direktur Feforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto dalam diskusi “UU Migas dan Perlindungan Kontrak Kerjasama Dalam Memperkuat Kepastian Hukum di Indonesia”, Rabu, 22 Januari 2014 di Jakarta.

JAKARTA –  Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran (Unpad) Prof DR Romli Atmasasmita, SH, LLM menegaskan bahwa kasus bioremediasi yang menjerat PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) mutak bukan tindak pidana korupsi. 

Hal ini diulas Romli dalam diskusi “UU Migas dan Perlindungan Kontrak Kerjasama Dalam Memperkuat Kepastian Hukum di Indonesia” di Jakarta, Rabu, 22 Januari 2014. Menurutnya, terlalu banyak persoalan yang mengganggu sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) Indonesia, sehingga perkembangan sektor ini terhambat dan terancam banyak pengusaha yang hengkang.

Salah satu yang cukup pelik adalah kriminalisasi terhadap kegiatan yang dinaungi Production Sharing Contract (PSC) atau kontrak kerjasama migas. Kasus yang paling mencolok adalah dibawanya para karyawan dan kontraktor CPI ke pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) atas tuduhan merugikan keuangan negara dalam kegiatan bioremediasi.

Romli menilai, hal ini terjadi karena aparat penegak hukum, baik jaksa, hakim, bahkan pengacara, tidak mau menengok pasal 14 Undang-Undang (UU) Tipikor, yang memberikan rambu-rambu guna membatasi lingkup perbuatan yang bisa dikategorikan korupsi. “Jadi tidak semua perbuatan yang menimbulkan kerugian negara termasuk korupsi,” ujar penyusun UU Tipikor ini.

Terlebih dalam konteks korporasi, kata Romli, dugaan kerugian negara yang terjadi pada aktivitas Perseroan Terbatas (PT) tidak bisa buru-buru disebut korupsi. Karena korupsi timbul, jika semua unsurnya terpenuhi, yakni adanya penyalahgunaan wewenang selaku pejabat pemerintah, ada perbuatan melawan hukum, dan ada kerugian negara. Ketiganya harus terpenuhi secara komulatif.

“Tidak bisa hanya ada kerugian negara, lalu sebuah korporasi atau PT disebut melakukan korupsi. Bisa saja penggelapan, pemalsuan dokumen, atau yang lainnya. UU Tipikor memang lex specialist, namun bukan untuk memotong lex generali-nya. Kalau bukan korupsi, jangan dipaksakan, cacat jadinya. Bakal lebih banyak mudharat (keburukan)-nya ketimbang maslahat (kebaikan)-nya,” tegas Romli.

Romli mengaku sudah meneliti kasus bioremediasi CPI yang diadili di Pengadilan Tipikor Jakarta. Intinya ada kontrak yang tidak diawasi, lalu dikaitkan dengan cost recovery, sehingga dianggap dapat merugikan keuangan negara. “Ini mutlak mal-administrasi, paling banter perdata (mengembalikan kerugian negara) dan bukan pidana korupsi. Mal-administrasi tidak sama dengan melawan hukum,” tegasnya lagi.

Vonis Sudah Tergambar

Hal senada diungkapkan pakar hukum migas, M Hakim Nasution, SH, LLM. Ia menilai, sejak awal memeriksa kasus ini, aparat penegak hukum sudah terlihat ingin menghukum para terdakwa bioremediasi. Bukan hanya jaksanya, tetapi juga hakimnya. “Ini saya rasakan saat menjadi saksi ahli di persidangan bioremediasi. Dari lontaran pertanyaan-pertanyaan para hakim, terkesan vonis yang akan dijatuhkan sudah tergambar di sini,” ungkap Hakim sembari menunjuk kepalanya.

Menurut Hakim, sebenarnya sudah jelas bahwa bioremediasi ini adalah kegiatan yang bersifat perdata. Kalau toh ada pejabat negara dalam hal ini SKK Migas, dalam konteks kontrak kerjasama migas, lembaga ini menjalankan fungsi keperdataan. “Saya terangkan kepada hakim bahwa pejabat negara itu bisa menjalankan fungsi publik atau fungsi perdata sesuai konteksnya. Namun hakim seolah mendorong saya untuk membenarkan bahwa bioremediasi ini masuk ranah hukum publik,” ungkapnya.

Pembicara lainnya, Direktur Reforminer Institute, Pria Agung Rakhmanto berpendapat, kasus bioremediasi CPI sebenarnya sudah terang. “Jadi merujuk keterangan Prof Romli, dalam bioremediasi ini kerugian negaranya saja tidak ditemukan, apalagi korupsi. Kan harus dibuktikan dulu kerugian negaranya, baru digolongkan pidana korupsi atau pidana umum,” tukasnya.

Lindungi Korporasi Dari Kriminalisasi

Namun dari semua keganjilan yang terjadi pada kasus bioremediasi, Prof Romli menilai tidak akan terjadi jika pemerintah punya visi dalam penegakan hukum. “Ini masalah kebijakan, visi, presiden harus turun tangan melindungi korporasi dari kriminalisasi. Kalau ini terjadi terus, korporasi akan pergi dari Indonesia karena hukum di sini tidak jelas dan tidak pasti,” paparnya.

“Jaksanya buru-buru memasukkannya pada tindak pidana korupsi, karena kalau bukan korupsi saat ini tidak seksi. Jaksanya nggak naik-naik pangkat. Hakim yang diharapkan obyektivitasnya, juga ketuk palu karena takut opini publik, takut diperiksa Komisi Yudisial. Kalau semua didasari rasa takut, lalu Indonesia ini negara apa? Negara hukum atau negara apa? ,” sergah Romli.

Hakim Nasution berpendapat sama. Disidangkannya bioremediasi sebagai kasus korupsi, akibat kurang kuatnya leadership pemerintah. Ditambah lagi lemahnya pemahaman aparat pemerintah dan penegak hukum, tentang kegiatan hulu migas. “Jadi kalau mau ada kepastian hukum di sektor hulu migas, dua syaratnya. Pertama edukasi. Kedua, perbaiki kualitas kepemimpinan nasional,” cetusnya.      

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)