JAKARTA – Laporan yang disusun oleh tiga lembaga think tank global–EMBER, Center for Research on Energy and Clean Air (CREA), dan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA)–mengungkapkan bahwa energi surya membuat negara-negara Asia menghemat biaya bahan bakar fosil. Salah satunya, Indonesia berhasil menghemat US$ 10 juta pada Januari-Juni 2022 dari beroperasinya pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).

“Negara-negara Asia telah menunjukkan bahwa pengembangan energi surya secara cepat dapat dilakukan, menjadi contoh dan pembelajaran bagi negara-negara lain di regional yang sama. Dengan harga energi surya dan penyimpanan terus turun dan potensi penghematan mulai terasa, dominasi energi surya di Asia kemungkinan akan terjadi lebih cepat dari perkiraan sebelumnya,” kata Achmed Shahram Edianto, analis kelistrikan EMBER Asia, Kamis (10/11).

Dalam laporan bertajuk “The Sunny Side of Asia” itu disebutkan bahwa porsi PLTS di Indonesia hanya 0,06% dari total kapasitas pembangkitan atau yang terendah di antara negara-negara G20. Kapasitas terpasang PLTS Indonesia sebesar 210 megawatt (MW) juga salah satu yang terendah di Asia Tenggara.

Namun, dalam laporan tersebut terungkap bahwa meski porsinya masih kecil, PLTS di Indonesia berhasil menghemat biaya bahan bakar US$ 10 juta pada Januari-Juni 2022.

Indonesia diprediksi akan memperoleh penghematan lebih besar lagi pasca komitmen netral karbon pada 2060 dan penghentian pembangkit berbasis batu bara pada 2050. Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) mengalokasikan penambahakan kapasitas PLTS sebesar 4,6 gigawatt (GW) pada 2021-2030. Jika terealisasi, Indonesia bisa menghemat biaya bahan bakar fosil hingga US$ 788 juta pada 2030.

Akan tetapi, target penambahan kapasitas PLTS Indonesia ini jauh di bawah Vietnam 16 GW, yang merupakan produsen energi surya terbesar di Asia Tenggara, dan hanya sedikit lebih tinggi dari Thailand 3,1 GW. Dengan potensi energi surya hingga 200 GW, Indonesia seharusnya meningkatkan target penambahan kapasitas PLTS tersebut.

Mengacu pada laporan International Renewable Energy Agency (IRENA), Indonesia perlu tambahan kapasitas PLTS hingga 7 GW agar sesuai dengan skenario global suhu bumi maksimal 1,5 derajat celcius. Jika mampu mencapai angka ini, Indonesia diperkirakan mampu menghemat biaya bahan bakar fosil hingga setidaknya US$ 2,4 miliar pada 2030.

Dalam laporan EMBER, CREA, dan IEEFA terungkap, Indonesia dapat memimpin Asia jika mampu mengembangkan potensi energi suryanya. Selama ini, batu bara menjadi andalan dalam bauran kelistrikan dan ekonomi Indonesia. Sektor batu bara juga, menurut laporan ini, memperoleh dukungan regulasi dan finansial yang sangat besar.

Pada 2018-2021, subsidi pemerintah ke PLN mencapai Rp 197 triliun dan kompensasi Rp 87,7 triliun. Dengan harga komoditi yang meroket, subsidi ke PLN pada kuartal pertama 2022 diperkirakan mencapai Rp 4,7 triliun.

Besaran subsidi tersebut membebani APBN, dan energi terbarukan dapat meringankannya, mengingat Indonesia semakin rentan pada fluktuasi harga komoditi global. Dengan meningkatkan target dan investasi PLTS, akan membantu Indonesia mencapai sektor kelistrikan netral karbon yang menawarkan biaya bahan bakar yang lebih rendah dan tagihan listrik yang lebih terjangkau seumur hidup.

Asia

Sementara itu, berkat kontribusi PLTS, tujuh negara kunci di Asia – China, India, Jepang, Korea Selatan, Vietnam, Filipina, dan Thailand – berhasil menghemat biaya bahan bakar hingga US$ 34 miliar pada Januari-Juni 2022. Penghematan ini setara 9% total biaya bahan bakar fosil pada periode tersebut. Sama seperti Indonesia, penghematan yang diperoleh bakal lebih besar lagi jika ketujuh negara tersebut mampu mencapai target kapasitas PLTS pada 2030, yakni menyentuh US$ 44 miliar.

“Negara-negara Asia perlu mengembangkan potensi energi suryanya yang cukup masif guna bertransisi dengan cepat dari bahan bakar fosil yang mahal dan beremisi tinggi. Potensi penghematan dari energi surya saja cukup besar, dan pengembangannya bersama energi terbarukan lain, seperti angin, akan sangat penting bagi ketahanan energi regional. Walau target yang ambisius itu penting, implementasinya perlu diperhatikan,” kata Isabella Suarez, Analis Asia Tenggara CREA.

Secara umum, Asia diprediksi bakal memperoleh penghematan lebih besar lagi dari pengembangan energi surya. Untuk itu, dibutuhkan upaya untuk menstabilkan jaringan, reformasi kebijakan inovatif yang mampu mendorong investasi, dan kerja sama dengan perusahaan swasta. Energi surya akan memegang peranan penting di sektor Asia pada dekade mendatang. Pertumbuhan kapasitas PLTS di Asia diperkirakan akan mencapai 22% per tahun hingga 2030.

“Kunci sukses ekspansi energi surya di Asia termasuk investasi stabilisasi jaringan dan reformasi pasar energi, yang bergantung pada seberapa menarik energi surya bagi investor. Untuk jangka pendek, elemen biaya seperti biaya modal, bahan bakar, operasi, dan perawatan menjadi penting untuk merealisasikan potensi surya di Asia,” tutur Norman Waite, Analis Keuangan Energi IEEFA.

 

Penghematan Biaya Bahan Bakar berkat PLTS Januari-Juni 2022

  1. China US$ 21 miliar
  2. Jepang US$ 5,6 miliar
  3. India US$ 4,2 miliar
  4. Vietnam US$ 1,7 miliar
  5. Thailand US$ 209 juta
  6. Filipina US$ 78 juta
  7. Indonesia US$ 10 juta