JAKARTA – Proyek pembangunan terminal regasifikasi gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) di Bojonegara, Serang, Banten dihentikan. Jumlah permintaan gas yang tidak signifikan dari PT PLN (Persero) sebagai offtaker atau penyerap utama gas menjadi alasan utama tidak dilanjutkannya proyek tersebut.

Terminal regasifikasi LNG Bojonegara semula akan dibangun dengan kapasitas mencapai 500 juta kaki kubik per hari (mmscfd). Proyek tersebut sebelumnya merupakan inisiasi dari perusahaan swasta nasional, yakni PT Bumi Sarana Migas yang merupakan anak usaha Kalla Grup. Pada 2013, Bumi Sarana menggandeng PT Pertamina (Persero) dengan melepas sebagian sahamnya. Selain Pertamina, Tokyo Gas Co Ltd dan Mitsui juga diajak masuk.

Nicke Widyawati, Pelaksana Tugas Direktur Utama Pertamina, mengatakan proyek tidak akan dilanjutkan lantaran hasil kajian yang dilakukan menunjukkan proyek tidak sesuai dengan keekonomian untuk saat ini dan beberapa tahun mendatang.

“Hari ini tidak dilanjutkan karena belum feasible. Demand gas turun sehingga tidak feasible secara bisnis,” kata Nicke ditemui usai menggelar rapat bersama Komisi VII DPR di Jakarta, Senin (9/7).

Menurut Nicke, sebelumnya memang sudah ada Head of Agreement (HoA) yang disepakati pengembang proyek pada 1 April 2015, yakni Pertamina dan Bumi Sarana,  untuk membangun terminal penyimpanan dan regasifikasi LNG Bojonegara senilai US$ 500 juta. Namun masa berlaku HoA tersebut sudah berakhir.

“HoA sudah tidak berlaku sudah expired tidak diperpanjang,” tukas dia.

Nicke mengakui awalnya proyek LNG Bojonegara diperuntukan untuk memasok gas bagi pembangkit listrik milik PLN.

“Kami lihat kebutuhan listrik , kan demand terbesar di listrik untuk pembangkit. Nanti kami lihat lagi,” kata Nicke.

Herman Khaeron, Wakil Ketua Komisi VII DPR, menegaskan Komisi VII DPR telah meminta penjelasan dari pemerintah dan para pengembang. Hasil akhir telah disepakati, yakni penghentian proses pembangunan proyek sampai waktu yang tidak ditentukan.

Penghentian proyek tidak melanggar hukum, hanya ada permasalahan bisnis saja yang harus bisa diselesaikan.

“Ternyata, demandnya tidak ada. Dari rencana 500 mmcfd, kebutuhannya cuman 50 mmbtu. Secara bisnis ini tidak layak, jadi dihentikan,” tegas Herman.

Lebih lanjut, Herman menuturkan sekarang yang harus dibenahi adalah perencanaan pengembangan infrastruktur energi, terutama gas. Karena seharusnya rencana pengembangan ada ditangan pemerintah. Sehingga apabila sudah ada timing dan kajian yang tepat maka proyek terminal regasifikasi bisa kembali dilanjutkan.

“Kami minta pemerintah untuk bisa kasih info detail soal neraca kebutuhan gas dan neraca permintaan gas serta neraca supply gas yang saat ini ada, tentang gas di Indonesia,” tandas Herman.(RI)