Bachtiar Abdul Fatah.

Bachtiar Abdul Fatah.

JAKARTA – Hari Rabu lalu, 9 Oktober 2013, digelar sidang pembacaan pledooi (pembelaan) pribadi atas terdakwa Bachtiar Abdul Fatah, dalam sidang kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.

Dalam pembacaan pledooi-nya, Bachtiar Abdul Fatah mengingatkan kembali majelis hakim dan jaksa penuntut umum (JPU) adanya Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 27 November 2012, yang telah mencabut status dirinya sebagai tersangka kasus bioremediasi.

“Putusan praperadilan bersifat tegas, final, dan mengikat, serta tidak bisa dibatalkan,” ujarnya mengutip keterangan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof Dr Laicha Marzuki, SH.

Namun yang terjadi, lanjut Bachtiar, pada 17 Mei 2012 dirinya dijemput paksa untuk diserahkan ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, tanpa pernah diberitahu alasan konkrit penjemputan paksa dan penahanan kembali tersebut.

“Hal ini menunjukkan penyalahgunaan wewenang penegak hukum. Surat dakwaan yang disusun Penuntut Umum juga tidak akurat dan tidak logis, serta sarat rekayasa dan pemaksaan kehendak yang menggambarkan kesewenang-wenangan,” ungkap Bachtiar yang tak kuasa menahan tangisnya sepanjang pembacan pledooi pribadinya itu.

Akibat penahanan itu, lanjut Bachtiar, dirinya harus berpisah dari keluarganya, tidak bisa menghadiri ulang tahun anak-anaknya, harus merayakan Idul Fitri di ruang tahanan, dan gagal menghadiri wisuda anaknya. Namun ia dan keluarganya tetap selalu berpikir positif, karena yakin tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukannya.

“Justru yang terjadi adalah kesewenang-wenangan aparat Kejaksaan Agung yang terlihat sejak awal penyidikan kasus bioremediasi, yang tidak disertai alasan spesifik serta alat bukti yang cukup,” ujar Bachtiar dengan suara agak gemetar.

Cek ke Mahkamah Agung

Sekitar awal April 2013 lalu, Kejaksaan Agung mengaku memiliki surat dari Mahkamah Agung (MA) yang menyoal putusan praperadilan yang kemudian dijadikan dasar untuk menggulirkan kembali perkara Bachtiar. Menurut Kejagung surat tersebut membuktikan bahwa hakim telah bertindak diluar kewenangan.

Menanggapi hal tersebut, tim penasehat hukum terdakwa yang dipimpin Maqdir Ismail pada Jumat, 11 Oktober 2013 mengaku telah melakukan penelusuran atas surat tersebut. Hal ini dilakukan karena jaksa tidak pernah menunjukkan salinan surat tersebut meskipun dituliskan dalam daftar surat lampiran namun terdakwa serta penasehat hukum tidak pernah melihat surat tersebut.

 “Kami cek langsung ke kantor Mahkamah Agung mengingat surat tersebut sangat penting menyangkut nasib dari klien kami yang sudah sepenuhnya memiliki kembali hak-hak sipil sebagai warga negara sebagaimana diputuskan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,” ungkap Maqdir.

Dari penelusuran kami, lanjut Maqdir, ternyata MA tidak pernah menerbitkan surat putusan apapun terkait dengan Putusan praperadilan No. 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel, tanggal 27 Nopember 2012.

“Bahkan salahsatu pejabat di MA menyatakan bahwa sejak Pak Bagir Manan menjadi ketua MA, fatwa MA saja tidak dapat membatalkan putusan pengadilan apalagi yang sudah final dan mengikat seperti putusan praperadilan,” jelas Maqdir.

Tim penasehat hukum kemudian memperoleh informasi bahwa surat Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 316/BP/Eks/03/2013 tanggal 21 Maret 2013,tersebut adalah surat dari bagian pengawasan MA.

“Surat tersebut ternyata surat dinas biasa dan tidak memiliki kekuatan hukum apapun. Dengan demikian, penahanan kembali dan didakwanya Bachtiar sebagai terdakwa oleh jaksa selaku Penyidik dan Penuntut Umum, jelas merupakan suatu ketidakpatuhan jaksa terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap,” imbuh Maqdir.

Menurutnya, tindakan jaksa ini merupakan pengingkaran atas hak-hak asasi/konstitusional dan kebebasan Bachtiar sebagai warga Negara untuk memperoleh jaminan kepastian hukum serta hidup bebas dari rasa takut terhadap terganggunya hak-hak asasi/konstitusionalnya oleh aparatur negara.

Selain itu, lanjut Maqdir, bukti-bukti yang diajukan untuk mendakwa dan menuntut Bachtiar saat ini tidak berbeda dengan bukti-bukti yang diajukan sebelumnya oleh jaksa.

Mengingat putusan Praperadilan sendiri belum pernah dibatalkan oleh putusan peradilan manapun amak menurut Maqdir, sebagai konsekuensinya, kepatutan hukum mempersyaratkan dibebaskannya Bachtiar dari penahanan dan/atau dakwaan untuk seketika dan seterusnya.

“Majelis hakim tipikor harus berani memperjuangkan penegakan hukum yang berkeadilan dan menjamin kepastian hukum bagi warga negara dengan membebaskan Bachtiar,” terang Maqdir.

“Kami pun sangat berharap bahwa semua penegak hukum dan pengamat hukum di Indonesia bisa mencermati keganjilan dalam proses hukum ini sehingga dapat mengambil sikap yang adil. Dibiarkannya proses hukum untuk Bachtiar berjalan terus artinya pembiaran secara sadar dilakukannya kekerasan negara terhadap warganya yang merdeka,” pungkas Maqdir.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)