TAPANULI SELATAN –  Pengolaha sumber daya mineral di lahan milik PT Agincourt Resources  (PTAR) ternyata tidak hanya menghasilkan emas dan perak. Terdapat produk lain yang bernilai tinggi berupa tembaga.

“Sekarang kami mulai memproduksi tembaga walaupun sedikit. Belum kami jual karena belum ada pembelinya. Jumlah yang ada saat ini sekitar 200 ton. Kami sedang mencari buyer yang proper,” tutur  General Manager Operations PTAR Rahmat Lubis, di lokasi tambang emas Martabe, kemarin.

Harga tembaga saat ini berkisari US$10.000 per metrik ton.

Namun, dia mengatakan untuk tahun ini PTAR  masih tetap fokus untuk mencapai produksi emas dan perak. Produksi tahun ini diproyeksikan mencapai 210 ribu  ounces setara emas. Bila dibandingkan dengan tahun lalu angka tersebut naik sekitar 10%. “Proyeksi tahun ini moderat sehingga pelung untuk tidak tercapai sangat kecil. Untuk kuartal I kami berada dalam trek untuk mencapai target tersebut,” kata pria lulusan Teknik Pertambangan ITB tersebut.

Seiring dengan perkembangan bisnis yang semakin baik, kata Rahmat, PTAR  berencana menaikkan produksi secara bertahap pada 2025 dan 2026. Saat ini, per September 2023, perusahaan memiliki sumber daya emas 6,2 juta ounces dan perak 59 juta ounces.  Kapasitas pabrik pengolahan sebesar 7 ton per tahun. “Kapasitas gold room pada saat puncak produksi sekitar 450 ribu ounces. Kami tidak perlu menambah kapasitas lagi jika produksi bertambah,” ungkap Rahmat.

Produksi emas dan perak PTAR berasal dari tiga area tambang takni Pit Purnama, Barani, dan Ramba Joring. Pada 2023, Perusahaan menambang 3,9 juta ton bijih dari Purnama, Barani 1,18 juta ton, dan Ramba Joring 633.000 ton. Agincourt berencana membuka dua area tambang yang saat ini masih dikaji cadangannya.

Dua area tambang ini masih termasuk dalam konsesi tambang PTAR. Berdasarkan Kontrak Karya Generasi VI yang dikeluarkan pada 17 Maret 1997, luas konsesi tambang Martabe mencapai 130.253 hektare. Namun, hingga saat ini luas operasional yang digarap hanya 509 hektare.

PTAR merupakan perusahaan milik anak usaha PT Astra International Tbk (ASII), PT United Tractors Tbk (UNTR) melalui PT Danusa Tambang Nusantara. Danusa mengepit 95% saham dan 5% sisanya milik Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan melalui PT Artha Nugraha Agung.

Mengurangi Jejak Karbon

Dalam operasional tambang, Rahmat menjelaskan perusahaan sudah memangkas penggunaan solar hingga separo. PTAR  berusaha menerapkan aspek ESG dengan memanfaatkan Listrik dari panel surya dan pasokan dari PT PLN (Persero). Agincourt telah memensiunkan 32 generator berkapasitas 1 MW per generator yang dahulu membutuhkan sekitar 1 juta liter solar per bulan. Kebutuhan solar sudah terpangkas separo.  “Apabila ditambah dengan kebutuhan solar untuk kendaraan tambang,  PTAR mengonsumsi 24 juta liter solar setiap tahun.  Hal itu berdampak besar terhadap penurunan emisisi. Agincourt berusaha untuk mengurangi jejak karbon,” tuturnya.

Pemasangan instalasi solar panel antara lain terdapat di kamp karyawan. Pada 2023,  PTAR  memiliki instalasi solar panel 2,1 megawatt peak (MWp). Selain itu, perusahaan sedang mencoba menggunakan eksavator hibrida untuk operasional area tambang. “Namun, penggunaan alat berat dengan teknologi mesin dengan sumber tenaga campuran antara BBM dan listrik masih menjadi tantangan besar,” katanya.

Inisiatif lain yang dijalankan  PTAR untuk mengurangi jejak karbon adalah penggunaan kembali air limbah setelah diolah untuk produksi. Perusahaan memiliki kapasitas pengolahan air sebesar 33.000 meter kubik per jam. PTAR  juga berencana menerapkan teknologi terbaru dalam penanganan tailing dengan Dried Management Facility. Saat ini, tailing ditampung dalam waduk berkapasitas 80 juta ton yang diperkirakan akan penuh pada 2027. “Pada saatnya nanti, apabila sudah penuh bagian atas waduk atau bendungan akan ditimbul top soil sehingga dapat dilakukan reklamasi pascatambang. Setelah itu, pengolahan tailing akan dijadikan medium yang kering sehingga lebih ramah lingkungan,” katanya.(LH)