JAKARTA – Penemuan cadangan gas bumi dinilai memiliki peran penting untuk mewujudkan ketahanan ekonomi, ketahanan energi, dan transisi energi. Dalam beberapa tahun terakhir aktivitas eksplorasi migas nasional semakin didominasi oleh penemuan cadangan gas bumi. Sejumlah temuan besar meliputi Layaran-1 di Blok South Andaman mencapai 6 Tcf), Timpan-1 di Blok Andaman II 5–6 Tcf, Geng North-1 di Blok North Ganal 5 Tcf, serta South CPP 87,09 Bcf. Dan hingga Juni 2025, total cadangan gas (proven + potential) Indonesia tercatat sebesar 51,98 Tcf.
ReforMiner Institute mencatat peran penting gas bumi dalam ketahanan ekonomi nasional juga tercermin dari index multiplier industri hulu gas bumi yang cukup besar. Hasil studi lembaga riset independen di bidang ekonomi energi dan pertambangan itu menemukan bahwa saat ini terdapat sekitar 113 dari 185 sektor ekonomi yang terkait dan terlibat dengan kegiatan usaha hulu gas bumi. Index multiplier industri hulu gas nasional sebesar 6,56, menunjukkan bahwa setiap investasi pada kegiatan hulu gas bumi berpotensi menciptakan manfaat atau nilai tambah ekonomi hingga 6,56 kali lipat dari nilai investasi yang dilakukan.
Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, mengatakan keterkaitan antara industri hulu gas bumi dengan ketahanan ekonomi tercermin dari nilai linkage index yang berada di atas rata-rata nasional. Nilai total linkage index industri hulu gas sebesar 3,12. Nilai linkage index diatas 1 mengindikasikan bahwa suatu sector ekonomi memiliki keterkaitan dan peran yang kuat dalam mendorong dan menarik pertumbuhan sektor-sektor ekonomi yang lainnya. “Nilai linkage index yang tinggi tersebut mencerminkan bahwa industri hulu gas memiliki keterkaitan yang kuat dengan sektor pendukung dan penggunanya,” kata Komaidi, Kamis (6/11).
Dari aspek fiskal dan moneter, pemanfaatan gas bumi berpotensi memberikan dampak positif dalam memperkuat stabilitas fiskal dan moneter nasional. Substitusi penggunaan LPG dengan program jaringan gas (jargas) berpotensi menurunkan beban subsidi dan kebutuhan devisa impor LPG.
Data Kementerian Keuangan (2025) menyebutkan bahwa kebutuhan subsidi LPG selama lima tahun terakhir mencapai sekitar Rp453 triliun. Sementara kebutuhan devisa impor LPG mencapai Rp 64 triliun per tahun. Implementasi target 4 juta sambungan jaringan gas rumah tangga berpotensi mengurangi impor LPG sekitar 400.000 metrik ton atau sekitar 6,15% dari total impor nasional dan menghemat subsidi energi sekitar Rp2,68 triliun.
Peran penting gas bumi dalam ketahanan energi nasional juga terkait dengan posisi strategis industri hulu gas dalam kebijakan hilirisasi. Berdasarkan data, kebutuhan gas untuk mendukung berbagai proyek hilirisasi seperti Pupuk Iskandar Muda (PIM) III, Pupuk Sriwijaya (Pusri) III, GRR Tuban, Amurea PKG, Pabrik Methanol Bojonegoro, Petrokimia Masela, Ammonia Banggai, serta pengembangan Ammonia dan Urea termasuk Blue Ammonia di Papua Barat diperkirakan mencapai sekitar 1.078 MMSCFD.
Komaidi mengungkapkan kebijakan hilirisasi akan memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar jika mendapat dukungan atau terintegrasi dengan kegiatan di sektor hulu. Studi ReforMiner pada 2025, menemukan manfaat ekonomi dari kebijakan hilirisasi gas akan lebih optimal jika bahan baku gas bumi berasal dari produksi di dalam negeri. Sebagai contoh, pada industri petrokimia, penggunaan gas bumi melalui produksi domestik berpotensi meningkatkan index multiplier effect hingga 5,28 kali jika dibandingkan penggunaan gas impor.
Gas bumi memiliki peran penting dalam ketahanan energi nasional. Sampai dengan akhir tahun 2024, porsi gas bumi di dalam bauran energi nasional sekitar 16,69%, minyak bumi sebesar 29,9%, batu bara 39,48%, dan Energi Baru Terbarukan (EBT) 14,1%. Berdasarkan Kebijakan Energi Nasional (PP No. 40 Tahun 2025), porsi gas bumi dalam bauran energi nasional diproyeksikan akan tetap meningkat dari 12,9–14,2% pada 2030 menjadi 14,4–15,4% pada tahun 2060.
Sementara itu, peran penting gas bumi dalam ketahanan energi nasional juga tercermin dari potensi dan cadangan terbukti yang telah tersedia. Berdasarkan Neraca Gas Kementerian ESDM pada 2025, optimalisasi cadangan gas bumi existing berpotensi dapat meningkatkan produksi gas nasional dari 5.777 Mmscfd pada 2025 menjadi 10.241 MMscfd pada 2035. Pada periode yang sama, kebutuhan domestik diproyeksikan berada pada kisaran 5.751 MMscfd, sehingga masih terdapat surplus pasokan sekitar 4.490 MMscfd.
Pemanfaatan gas bumi juga memiliki peran penting dalam pelaksanaan kebijakan transisi energi dan target NZE 2060. Peningkatan pemanfaatan gas bumi dapat membantu merealisasikan komitmen Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 31,89% atau setara dengan 915 juta ton CO2e pada tahun 2030 dari kondisi Business as Usual (BaU). Dari target tersebut, sektor energi mendapatkan porsi penurunan emisi sebesar 358 juta ton CO2e.
Berdasarkan simulasi ReforMiner, jika 50% volume konsumsi minyak bumi dan batubara Indonesia dikonversi dengan menggunakan gas bumi, kebijakan tersebut dapat menurunkan emisi 159,51 juta ton CO2e atau setara dengan sekitar 44,5% dari total target penurunan emisi sektor energi Indonesia. Pemanfaatan gas bumi akan memiliki dampak yang lebih positif karena dapat menyeimbangkan antara daya beli masyarakat dan pencapaian target penurunan emisi. Penurunan emisi tetap dapat dicapai dengan tetap menjaga daya beli dalam tingkatan tertentu.
Komaidi mengatakan keberadaan cadangan gas bumi memiliki posisi strategis pada aspek ketahanan ekonomi, ketahanan energi, dan kebijakan transisi energi. “Karena perannya yang sangat strategis tersebut pemanfaatan gas bumi perlu diikuti dengan kebijakan yang dapat menyelesaikan sejumlah permasalahan pada industri gas nasional seperti percepatan pembangunan infrastruktur gas, penyediaan kepastian investasi, penguatan akses pasar, serta penetapan harga yang proporsional untuk semua pihak.” Kata dia.(AT)




Komentar Terbaru